Searchengine Friendly Head Tag Generator INDEPTH | Pengaruh IMF dan Bank Dunia menumbalkan Buruh & Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

BREAKING NEWS

5/recent/ticker-posts

INDEPTH | Pengaruh IMF dan Bank Dunia menumbalkan Buruh & Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

 Dilansir dari website Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.

 


Presiden Buruh di Mahkamah konstitusi

Presiden Partai Buruh Said Iqbal, di Sidang MK





 

Tak hanya itu, dalam putusan berjumlah 687 halaman tersebut, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023. Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

 

Mahkamah menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja. Terutama  terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah (baik berupa pasal dan ayat) sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh pekerja/buruh.

 

Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

 

 

“Dengan undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan. Selain itu, sejumlah materi/substansi peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah undang-undang, termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam undang-undang ketenagakerjaan,” ucap Enny.

 

 

Dalam putusan tersebut, MK membagi pertimbangan hukum ke dalam enam klaster dalil permohonan, yakni :

(1) Dalil Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

(2) Dalil Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);

(3) Dalil Mengenai Pekerja Alih Daya (Outsourcing);

(4) Dalil Mengenai Upah;

(5) Dalil Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); serta (6) Dalil Mengenai Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK).

 

 

Hal ini di sambut gegap gempita oleh buruh dengan melakukan sujud syukur, UU 6 Tahun 2023 yang di sebut sebagai UU Cipta kerja memang  penuh polemik sejak awal pembentukan hingga pengesahannya , serta dalam  tahap pemberlakuannya.

 

Dalam pembentukan undang-undang, ada beberapa asas yang harus dipenuhi, yaitu: Kejelasan tujuan, Kelembagaan pembentuk yang tepat, Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, Dapat dilaksanakan, Kedayagunaan dan kehasil-gunaan. Undang-Undang harus memenuhi azas lainnya yaitu dapat dilaksanakan.

 

Sehingga setiap pembentukan peraturan perundang undangan harus memperhitungkan efektivitas dalam masyarakat dan azas keterbuakaan guna memberikan kesempatan pada publik untuk memberi masukan. Dalam perubahan Undang-undang Cipta Kerja pasca disetujui di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

bersama pemerintah, membuat Undang Undang ini inkonstitusional dikarenakan tidak memenuhi tahapan peraturan pembentukan perundang-undangan.

Proses pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan. Indikasinya adalah  pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang dipercepat dan  setelah pengesahan, draf final UU Cipta kerja berubah rubah. Hal ini melanggar moralitas dari demokrasi.

 

 Sebuah Negara demokrasi, paripurna adalah persetujuan bersama, perwujudan dari pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang terburu-buru dan menabrak ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan, salah satunya ialah asas keterbukaan.

 

 

BURUH MENJADI TUMBAL IMF DAN BANK DUNIA

 

Tarik-menarik kepentingan dalam pembuatan undang-undang (UU) dapat terjadi karena adanya berbagai kekuatan politik yang terlibat dalam prosesnya. Pemegang kekuasaan legislatif dapat memasukkan kepentingan politiknya sendiri ke dalam UU. 

 

Konfigurasi politik pada saat UU ditetapkan dapat memengaruhi karakter UU yang dihasilkan. Misalnya, konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan UU yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan UU yang konservatif.

 

Untuk dapat memahami isu-isu penegakkan hukum terhadap nasib buruh yang di perjuangkan oleh Teman-teman aktivis buruh, harus juga melihat bahwa ternyata hampir semua undang-undang yang strategis menyangkut kehidupan ketenaga kerjaan tidak murni hasil dari pemikiran para petinggi negeri ini, ada kekuatan invincible hands (kekuatan tak terlihat/Non State Actors dibelakang pembentukan sebuah Regulasi)  yang menskenariokan-nya. --Arif Rahman Hakim SH. MH, Owner ARH LAW Office Advocate & Legal Consultant.

 

ARTIKEL INDEPTH ARH--KENAPA HARUS MENDUKUNG GERAKAN
BURUH ?



 

Pada saat krisis ekonomi 1997, adalah  awal mula intervensi asing berkedok stimulus pertolongan negara pendonor agar indonesia keluar dari krisis kapitalisme global (tentang makna krisis kapitalisme global dapat dilihat disini) dengan  menumbalkan Buruh

 

Di Indonesia, IMF akan terus disebut-sebut ketika kita menjelaskan krisis keuangan Asia 1997/1998. Sementara itu Bank Dunia akan sulit dilepaskan dari peranannya merampas tanah dan memiskinkan kaum tani demi pembangunan proyek infrastruktur seperti waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah dan waduk Jatigede di Jawa Barat pada kurun 1980-an.

 

Kala itu, krisis finansial di Thailand turut menyapu perekonomian Indonesia. Untuk mengendalikan krisis, Soeharto mengadu ke IMF. IMF menyarankan penutupan bank-bank bermasalah serta menaikan suku bunga antara 10 persen hingga 60 persen.

 

Per 1 November 1997, 16 bank dicabut izin operasionalnya. Akibatnya, sebanyak 8.504 buruh bank kehilangan pekerjaan. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan manufaktur kesulitan likuiditas dan menutup produksi. Hasilnya, menurut Kadin (Kamar Dagang Indonesia), 125 perusahaan tutup dan 1,5 juta orang kehilangan pekerjaan (Kompas, 11/1/1998).

 

 

Krisis makin tidak terkendali. Pada April 1998 IMF menyarankan kembali menutup 10 bank. Pada Oktober 1998, empat bank (Bank Exim, Bapindo, BBD dan Bank Dagang Negara) dilebur menjadi Bank Mandiri. Jumlah pekerja di keempat bank yang akan dilebur tersebut sebanyak 26 ribu orang, sementara Bank Mandiri hanya butuh 7 ribu orang. Artinya, 19 ribu orang dipaksa menerima pemecatan.

 

Pada 1999, 38 bank dibekukan lagi. Para buruh perbankan melakukan demonstrasi ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Bank Indonesia (BI), dan tempat tinggal para pemilik bank. Demonstrasi para buruh dilakukan untuk menuntut pembayaran pesangon yang layak. Pada 5 Juli 1999 buruh bank BTN se-Jabodetabek melancarkan mogok menolak pemecatan sepihak terhadap 1500 buruh.

 

Penutupan bank atau merger merupakan bagian dari Letter of Intent/Surat Kesepakatan (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF untuk melakukan kebijakan restrukturisasi perbankan. Pemerintah menerima saran IMF tersebut sebagai syarat untuk menerima pinjaman senilai 7.338 juta dolar AS, yang dicairkan bertahap hingga 2003. Pada rentang antara tahun 1997 hingga 2003, Pemerintah Indonesia telah menandatangani 26 kali LoI (Letter Of Intent).

 

Dari ke-26 LoI tersebut, LoI yang ditandatangani Maret 2003 tampaknya memuat syarat-syarat lebih komprehensif. Dengan 43 pasal kesepakatan, LoI menyarankan agar pemerintah mengubah orientasi BUMN, perubahan kebijakan fiskal, mengubah peran bank sentral dan membuat kebijakan perburuhan yang lebih fleksibel. (selengkapnya baca di sini )

 

 

Berdasar LoI itu , maka pada 2003 keluar Undang-Undang Nomor 19 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Di dalamnya mengatur mengenai metode privatisasi badan-badan usaha milik negara. Privatisasi dilakukan dengan menjual sebagian atau seluruh saham BUMN atau memenggal (unbundling) jenis-jenis usahanya dengan mendirikan anak perusahaan. Privatisasi bukan hanya mengubah orientasi BUMN, juga memangkas hak-hak buruh. Salah satu kasus yang cukup menonjol adalah pemecatan lebih dari 9000 orang buruh PT Dirgantara Indonesia pada 2003.

 

Pada 2003 dan 2004, keluarlah Undang-Undang No13 tentang Ketenagakerjaan (UUK 2003) dan Undang-Undang Nomor 2 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI 2004). Dari kacamata IMF, UU PPHI 2004 dianggap masih kaku karena kewenangan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) semestinya diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, bukan di pengadilan.

 

Pada 2006 Pemerintah Indonesia melunasi seluruh hutang pinjaman beserta bunganya dan menunaikan hutang program. Di tahun itu, keluar Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Nomor 3 Tahun 2006. Salah satu perintah berikutnya dari IMF adalah revisi terhadap UUK 2003, yang dianggap tidak ramah pasar, terutama menyangkut perlindungan di tempat kerja dan mekanisme PHK. Sehingga kemudian ada rencana revisi UUK 2003 dan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pesangon pada 2007. Tapi dua rencana tersebut berhasil digagalkan dengan aksi-aksi massa serikat buruh.

 

Tapi pemerintah tidak putus asa mengupayakan terus liberalisasi pasar tenaga kerja. Pada 2010, UUK 2003 diajukan lagi untuk direvisi, namun berhasil ditolak. Pemerintah mengambil cara lain di mana pada Oktober 2015, pemerintah mengesahan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 78 selalu dibilang telah dibicarakan dan dikonsultasikan selama 12 tahun. Meski tidak sepenuhnya sesuai selera IMF dan Bank Dunia yang menyarankan penghilangan kebijakan upah minimum dan pengupahan berdasar produktivitas, PP 78 telah mewakili kepentingan pasar dengan memasukan indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam penentuan kenaikan upah minimum. Lagi pula upah berdasarkan produktivitas pun terakomodasi dalam struktur skala upah.

 

 

Sementara itu privatisasi BUMN membawa dampak buruk dalam jangka panjang, yakni komersialisasi layanan publik dan pengurangan hak-hak dasar buruh karena berlakunya hubungan kerja fleksibel.

 

Dengan diprivatisasi dan mendirikan anak perusahaan, BUMN secara massif merekrut buruh outsourcing atau buruh kontrak yang dipekerjakan secara terus menerus. Per 2014, jumlah buruh outsourcing di BUMN mencapai 200 ribu orang. Di PT Pertamina Partra Niaga (anak perusahaan pertamina)ribuan awak tangki mobil pengantar bahan bakar minyak dikontrak secara berulang selama bertahun-tahun, bekerja di atas 8 jam kerja perhari dan tanpa jaminan kesehatan. BUMN-BUMN pun melakukan pemecatan ilegal, membayar upah di bawah upah minimum, tidak membayar upah lembur, menghilangkan hak cuti, melakukan pungutan ilegal, tidak menyediakan alat perlindungan diri bagi para buruh, dan tidak mendaftarkan buruhnya sebagai peserta jaminan sosial dan pemberangusan serikat buruh (Kusumoningtyas, 2016).

 

Maka tepatlah respon ketua umum KPBI Ilhamsyah yang pada intinya menyuarakan untuk terus mengawal hasil keputusan MK terkait UU Cipta Kerja,  Ilhamsyah menegaskan bahwa putusan MK adalah bersifat final dan mengikat, artinya jangan sampai ada pihak-pihak yang mencoba untuk menentang apalagi menganulir putusan MK tersebut. Jika hal itu sampai terjadi maka buruh bersama rakyat akan mempersiapkan perlawanan yang lebih besar lagi guna mengawal putusan MK tersebut. Imbuhnya (1/11/2024)

 

 

 

UU CIPTA KERJA, ANTARA JANJI  DAN REALITA

 

Benarkah UU cipta kerja telah membuat perubahan signifikan sebagaimana janjinya di awal ?

 

 

Rancangan UU Cipta Kerja, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjanjikan sejumlah hal untuk meredam kritik publik.

 

Pertama, UU Cipta Kerja akan menciptakan 2,7 juta sampai 3 juta lapangan kerja per tahun untuk menampung 9,29 juta orang yang belum bekerja.

 

Kedua, meningkatkan kemudahan berusaha yang akan mendorong peningkatan investasi hingga 6,6-7,0 persen. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong target peningkatan konsumsi hingga 5,4-5,6 persen.

 

 

Dari segi nilai, dengan naiknya realisasi investasi tahun 2021 sebanyak 9 persen dari Rp 826,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 901,2 triliun, target pemerintah sebenarnya tercapai. Pertumbuhan investasi pada tahun lalu itu bahkan lebih baik dari kondisi prapandemi. Kendati demikian, dari segi kualitas, kenaikan realisasi investasi itu belum selaras dengan penciptaan lapangan kerja.

 

Ternyata, dengan investasi yang naik 9 persen atau sebanyak Rp 74,9 triliun itu, tenaga kerja yang terserap hanya bertambah 4 persen dari 1.156.361 orang pada 2020 menjadi 1.207.893 orang pada 2021. Masih jauh dari target cipta lapangan kerja yang dijanjikan pemerintah.

 

UU Cipta Kerja Tidak pernah mampu menghentikan tren penurunan serapan tenaga kerja yang sudah terjadi selama delapan tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap 4.954 tenaga kerja.

Pada 2019, investasi Rp 1 triliun menyerap 1.438 orang. Sekarang, meski dengan UU Cipta Kerja pun, Rp 1 triliun hanya menyerap 1.340 tenaga kerja.

 

Ironisnya, provinsi dengan realisasi investasi tertinggi selama tiga tahun terakhir ini, seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Riau, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah, juga menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tertinggi.

 

Ambil contoh, Jawa Barat sebagai provinsi dengan realisasi investasi tertinggi senilai Rp 136,1 triliun juga menjadi provinsi dengan pengangguran kedua tertinggi, yakni 9,82 persen. Sulawesi Tengah, dengan investasi asing tertinggi keempat senilai Rp 38,8 triliun, termasuk dalam 10 besar provinsi dengan kemiskinan tertinggi, yakni 12,18 persen.

 

Ironisnya, provinsi dengan realisasi investasi tertinggi selama tiga tahun terakhir ini juga menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tertinggi.

 

Carut marut dan secara terang-terangan melanggar aturan penyusunan undang-undang hingga overklaim UU Cipta Kerja sebagai tools memajukan negara, adalah alasan mengapa kita harus mendukung perjuangan buruh, dimulai dengan pemahaman yang benar atas apa yang mereka sedang perjuangkan, tidak nyinyir dan melihat secara real fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan, apriori kita terhadap perjuangan mereka sama artinya menjerumuskan generasi anak cucu kita kedalam eksploitasi penghisapan manusia atas manusia lainnya.

 

Sebagai praktisi hukum saya mendukung segala upaya teman-teman di pergerakan buruh untuk menegakkan aturan mengenai perburuhan/ketenaga kerjaan, dan mendorong terciptanya regulasi yang memanusiakan manusia,  sebagaimana semangat dalam teori Robert Owen.

 

Teori Robert Owen adalah gagasan bahwa kesejahteraan pekerja harus menjadi prioritas utama dalam industri.

 


PRESS RELEASE DEN KPBI

Kemenangan Gugatan MK di awal pemerintahan  baru Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, berkesesuian dan sejalan  dengan misi pertumbuhan ekonomi 8%, semoga dapat tercapai dengan mereformasi UU Ketenaga kerjaan, sehingga menjamin kesejahteraan rakyat (dalam hal ini Buruh/Tenaga Kerja) agar dapat meningkatkan daya beli yang akan mendorong Pertumbuhan ekonomi.

 

Dan semoga gerakan buruh akan semakin kokoh dalam persatuan dalam mengawal kepentingan rakyat.

 

Salam Pembebasan Nasional, Pembebasan Manusia dari Penghisapan dan eksploitasi  sesama manusia.

 

Arif Rahman Hakim SH. MH.

Praktisi Hukum dan Owner ARH Law Firm.

Jakarta 7 November 2024, di tengah persiapan 

Sekolah Lemhanas


Editor : Ilyas Husein

 

Disclaimer : Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya disini , ditulis dalam gaya penulisan Artikel Indepth.



Arif Rahman Hakim SH. MH--Sumber : Pribadi


 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar