Searchengine Friendly Head Tag Generator Melampaui Mitos Kepahlawanan: Re-aktualisasi kepahlawanan yang Sesungguhnya

BREAKING NEWS

5/recent/ticker-posts

Melampaui Mitos Kepahlawanan: Re-aktualisasi kepahlawanan yang Sesungguhnya

ARH OPINI







Tanggal 10 Novembe r selalu menjadi  momen memperingati  hari Pahlawan, penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan. Bukan  sekadar mengenang, Hari Pahlawan juga menjadi sebuah moment yang tepat  merefleksi diri, mengevaluasi dan bertanya pada diri sebagai warga negara,  bukan tanya apa yang telah kita dapatkan dari bangsa negara ini, tapi mari kita tanya diri kita apa yang telah kita perbuat untuk bangsa dan negara yang kita cintai.


Hari Pahlawan mengajak kita untuk merenungkan semangat perjuangan para pahlawan mempertaruhkan harta benda hingga jiwa raganya untuk menjaga kehormatan negara dimasa perjuangan memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan.


Saat ini siapa yang dapat dimaknai mempunyai jiwa kepahlawanan ?,

 Apakah Jaksa Agung yang mampu menangkap 3 Hakim Pengadilan Negeri Surabaya karena diduga terlibat suap atas pesanan putusan bebas terdakwa Ronald Tannur kasus dugaan pembunuhan Dini Sera ?.


Apakah Polisi yang mampu membongkar sindikat judi internasional dengan transaksi ratusan milyar?

Apakah juga para TKI dan TKW lah yang sebenarnya sebagai Pahlawan devisa negara ? 

Apakah pahlawan itu KPK yang juga masif upaya pemberantasan Korupsi ? 


Apakah pahlawan itu Para Pengacara / Advokat yang mampu membebaskan para Guru rendahan dari jeratan hukum karena hasil kriminalisasi orang tua muridnya ?.


Apakah pahlawan itu juga termasuk para Jurnalis / wartawan yang menulis dengan netral, idealis, aktual dan obyektif ?


Yang jelas untuk menjadi seorang pahlawan bangsa ini tidak harus menjadi Jaksa, Polisi dan  pengacara  serta TKW / TKI. hingga Jurnalis, akan tetapi cukup kiranya kita sebagai warga negara apapun profesinnya maka ketika Seorang Petani yang mampu hasil bercocoktanam dengan baik, panen bagus, seorang pedagang dengan jualan yang jujur, hingga pegawai bendaharawan pemerintah yang amanah serta seorang karyawan yang kerja dengan benar berdedikasi tinggi, hal demikian bukankah sebagai pahlawan modern.


Sebab yang jauh lebih penting nilai kepahlawanan ada dalam sifat keteladanan integritas dari para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh politik serta orang tua dalam lingkup komunitas yang paling bawah.


Infografis Hari Pahlawan







MENGHILANGKAN MITOS KEPAHLAWANAN

Pelan tapi pasti, republik ini kurang menghargai orang cerdas dalam tata kelola publik. Mereka tiba-tiba hilang dalam pentas dikalahkan mitos kepahlawanan, yakni mereka yang katanya berani menyerahkan jiwa raganya. Seolah-olah mereka inilah pewaris negeri ini dengan jasa begitu besar.


Memang andil mereka harus diakui, namun jangan membuat kita terjebak pada mitos kepahlawanan sempit seperti ini. Ini hanya akan menimbulkan imajinasi bahwa hanya merekalah yang berjasa paling besar di republik ini. 

Tak pelak, sering kali ini menimbulkan kesan bahwa pahlawan adalah mereka yang berani berjuang untuk mengangkat senjata. Hanya yang bersenjata yang disebut sebagai pahlawan. Mitos inilah yang membuat kita miskin gagasan dalam membangun bangsa yang inovatif dalam usaha mencari jalan keluar dari ketergantungan. Ketergantungan ini tercipta karena budaya akal sehat tidak menjadi pertimbangan dalam segala hal.


Akibat pudarnya nilai-nilai kepahlawanan ini, kita makin sulit mengangkat diri menjadi bangsa yang dihargai di mata internasional. Kita takluk di bawah perintah dan kemauan asing. Nilai-nilai kepahlawanan yang melekat tak cukup digdaya untuk membuat kita keluar dari lingkaran ketergantungan tersebut.


Kemajemukan dan kekayaan alam yang seharusnya dijadikan modal untuk menyejahterakan rakyat realitasnya sebagian besar telah kita gadaikan dan manfaatkan bukan untuk kepentingan kita sendiri. Ini terjadi akibat banyak orang berpikir atas nama dan untuk dirinya sendiri, bukan untuk dan atas nama bangsanya.


Budaya yang kita bangun tidak mampu melahirkan gugus insting yang mampu mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, dan berkomunikasi dalam cara yang cerdas, dan menghargai nilai-nilai keanekaragaman budaya. Hal ini disebabkan ketiadaan arah dalam membangun kebudayaan yang melahirkan sistem nilai dan akhirnya memengaruhi sistem kerja.


Perilaku “kepahlawanan” yang mementingkan otot justru semakin marak di Tanah Air. Para pahlawan kesiangan berteriak-teriak moral di saat yang sama sedang menginjak nilai-nilai kemanusiaan. Mereka haus disebut sebagai pahlawan walaupun laku kehidupannya sama sekali tak mencerminkan seorang pahlawan. Ya, inilah kita, hidup di bangsa yang elite-elitenya sering haus pujian.


Pola “pahlawan” palsu yang hanya mengandalkan kekuatan otot inilah yang sering kali membuat bangsa ini makin bertambah banyak masalahnya.

 Masalah kita bukan hanya bagaimana berhadapan secara elegan dengan bangsa lain, melainkan juga dengan sekelompok anak negeri yang lebih mementingkan kelompoknya daripada bangsanya. 
Kini kita membutuhkan makna kepahlawanan yang lebih luas dan dalam. Pahlawan bukan sekadar mitos “bambu runcing”, melainkan mereka yang terus-menerus menemukan kreativitas dalam memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Pahlawan adalah mereka yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang. Pahlawan adalah pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah.


Mereka inilah yang seharusnya kita sebut pahlawan. Mereka adalah sosok yang bermanfaat bagi warga bangsanya. Mereka inilah yang layak disebut pejuang sejati karena adanya mereka untuk memperjuangkan kesejahteraan, kemanusiaan, dan keadilan. Dekonstruksi kepahlawanan dengan demikian perlu dipikirkan kembali untuk menemukan makna terdalam apa yang dimaksudkan dengan pahlawan itu.

“Sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.” Kita mempercayainya. Namun, makna ungkapan ini bagi kita sering terlalu datar dan sering diartikan bahwa penghormatan adalah rutinitas formal saja.


Apa yang ada di pikiran Bung Tomo kala itu adalah untuk menegakkan harkat dan martabat kebangsaan dengan mengorbankan seluruh jiwa raga. Bung Tomo tak hanya membela Surabaya. Ia membela kehormatan bangsa yang dipermainkan. 


Harga diri dan martabat kebangsaan sering tergadaikan oleh kepentingan pragmatis individual. Sudah jarang laku kepahlawanan dan heroisme yang termanifestasikan untuk membela kebangsaan. Kebangsaan yang bermartabat, yang diperoleh dengan pengorbanan luar biasa, kini mulai digerogoti oleh sikap dan perilaku yang sering bertentangan. 



KEPAHLAWANAN DALAM KONTEKS  ZAMAN

Kepahlawanan bukanlah sekadar peristiwa bersejarah atau tindakan heroik yang bersifat fisik semata, tetapi ia adalah prinsip moral yang berlaku di setiap zaman. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:


“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 69)


Ayat ini mengingatkan bahwa perjuangan tidak hanya berupa pertempuran fisik, tetapi juga perjuangan dalam kebaikan dan kemajuan.

Dalam konteks kontemporer, jihad ini dapat diwujudkan dalam bentuk kontribusi sosial, inovasi, dan kebermanfaatan yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat.



Karena keteladanan yang berintegritas inilah sebenar benarnya   nilai jiwa kepahlawan  yang kita butuhkan pada saat ini. Dengan keteladanan berintergritas yang jujur, amanat  mampu bekerjasama yang baik serta berkarakter luhur dari  para pejabat, rekan sejawat hingga masyarakat inilah yang sebenarnya juga telah melekat jiwa kepahlawanan.


Saya kutip ulang kata bijak berikut : Tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.

Y.B Mangunwijaya

Rohaniwan, budayawan, penulis dari Indonesia (1929 - 1999).


Arif Rahman Hakim SH. MH. Jakarta 10 November 2024

di tulis sebagai Kontemplasi kemandirian Bangsa

Untuk Rubrik OPINI ARH, di ARH MEDIA



Editor : Ilyas Husein


Posting Komentar

0 Komentar