Searchengine Friendly Head Tag Generator REFLEKSI AKHIR TAHUN ARH : No Viral No Justice , Keadilan di Era Viralitas ?

BREAKING NEWS

5/recent/ticker-posts

REFLEKSI AKHIR TAHUN ARH : No Viral No Justice , Keadilan di Era Viralitas ?

”Beri aku hakim yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarik pun-

 

Bernadus maria Teverne

di kutip ulang Oleh:

 

Arif Rahman Hakim SH. MH, Pimpinan ARH LAW OFFICE ADVOCATE & LEGAL CONSULTAN

untuk Refleksi Akhir Tahun ARH Media.


REFLEKSI AKHIR TAHUN


 

GEJALA VIRAL BASED JUSTICE

 

Istilah ‘no viral, no justice‘ muncul sebagai respon masyarakat terhadap pilihan untuk mencari keadilan dengan bantuan publik. Ketimbang mengandalkan penegak hukum formal yang butuh lama penanganannya dan belum tentu juga kelar serta mendapat perhatian serius. 



Namun, yang menjadi persoalan, mengapa orang-orang lebih mengandalkan kekuatan netizen di media sosial daripada aparat penegak hukum?



Media sosial memiliki kekuatan besar sebagai sumber informasi dan pengaruh yang bisa mengubah keadilan hukum bagi korban. Fenomena viral di media sosial punya pengaruh besar dalam memperhatikan kasus-kasus yang senyap di masyarakat sehingga dapat menjadi perhatian publik. 




Maraknya kasus yang diviralkan di media sosial merupakan respon dari masyarakat karena tidak sepenuhnya percaya pada aparat. 



“Masyarakat mencari faktor (pendorong) eksternal agar  perkara yang di hadapinya dapat segera ditangani. Hal ini wajar karena masyarakat  lelah terhadap penegakan hukum di Indonesia yang stuck, tidak ada progress”.



Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 sudah sangat gamblang  dijelaskan, segala warga negara bersamaan kedudukannya itu dengan tidak ada kecualinya.



Kesamaan kedudukan di dalam hukum, termasuk juga dalam penegakan hukum bagi tiap warga negara menjadi panduan bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.

 

Sepanjang 2024 banyak sudah kasus yang harus Viral dulu baru mendapat perhatian, misalnya saja kasus-kasus di ranah privat seperti Vina Cirebon, Kemenangan  Gugatan Warga Tanah Merah terhadap Pertamina,  kasus guru supriyani dan kasus perundungan Ivan Sugiarto, maupun kasus publik misalnya kasus Skandal Suap Ronald Tanur.

 

==========================

Fun Fact Data

========================



NO VIRAL NO JUSTICE DALAM LINTAS SEJARAH

Pembahasan mengenai fenomena "no viral no justice" cukup menarik apabila dibahas dari sisi ruang digital itu sendiri sebagai role model pergerakan di masa yang akan datang. Kurang lebih 20 tahun sebelum Indonesia merdeka masyarakat tengah dihampiri demam organisasi; pribumi kala itu berbondong-bondong membentuk sebuah organisasi mulai dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, Perhimpunan Indonesia, dan banyak organisasi lain dengan berbagai macam latar belakang.

 

Pembentukan organisasi merupakan alat perlawanan terhadap pemerintahan kolonialisme Belanda; salah satu bentuk senjata perlawanan non fisik yang dimunculkan organisasi atas kesewenang-wenangan saat itu ialah boikot. Sama halnya dengan fenomena "no viral no justice" tadi, boikot yang dilakukan masyarakat atau anggota organisasi juga merupakan bentuk mobilisasi populis yang berujung pada terbentuknya pressure group atau kelompok penekan dalam kehidupan masa kolonialisme.



Meskipun memiliki kesamaan dalam hal konsepsi (mobilisasi populis), namun pada hakikatnya kemunculan fenomena "no viral no justice" cukup jauh berbeda dengan pergerakan boikot. Perbedaan pertama yaitu motif anggota yang tergabung dalam gerakan kolektif tersebut. Motif anggota organisasi dalam fenomena boikot merupakan sebuah kesadaran atas keadaan yang merenggut hak-hak mereka, artinya perlawanan muncul dari ras senasib (penderitaan bersama).

 

Sedangkan motif dalam fenomena "no viral no justice" tidak lain merupakan bentuk simpati dan kepedulian yang muncul karena ketidakadilan yang ada di depan layar. Misalnya Anda sedang scroll beranda media sosial, tiba-tiba muncul sebuah postingan yang mengusik hati nurani, secara refleks Anda akan merespons postingan tadi.

 



Infografis No Justice No viral  Sumber : Pinterpolitik




LOBANG HITAM NO VIRAL NO JUSTICE 

Memang tak bisa dipungkiri bahwa fenomena no viral no justice dapat mempengaruhi jalannya suatu kasus/perkara. Semakin disorot, semakin besar pula pressure yang diberikan publik kepada proses dan aparatur penegak hukum yang bekerja. Penyelesaian kasus/perkara menjadi lebih efektif dan efisien, karena cepat, sederhana, dan biaya ringan. Alasan-alasan yang bersifat birokratis dan formalistik yang mengganggu dalam situasi normal pun dikesampingkan. Jadi lebih mudah mewujudkan keadilan dalam keadaan viral.

 

Bahkan, putusan hakim dalam kasus/perkara viral kerap ditahbiskan sebagai keadilan substantif sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat. Meskipun demikian, apakah no viral no justice sebagai upaya mencapai keadilan itu sudah benar-benar berlaku adil dan menjamin tidak ada pihak yang dirugikan, dalam arti dapat menjamin perlindungan hukum bagi kedua belah pihak (korban dan pelaku)?

 

No viral no justice juga memiliki lobang hitam dalam upaya mencapai keadilan. 

 

Pertamano viral no justice memberikan standar ganda keadilan. Dalam situasi normal dan tidak viral, proses hukum dihadapkan pada keribetan, waktu yang lama, dan ongkos birokrasi yang besar. Sehingga sangat sulit untuk mewujudkan keadilan. Wajar apabila ada para pencari keadilan (justicia belen) yang membanding-bandingkan proses penyelesaian antara kasus/perkara viral dengan tidak viral.

 

Penanganan yang berbeda antara kasus/perkara viral dengan tidak viral tersebut, jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, termasuk ke dalam perbuatan diskriminasi, yakni memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang akan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

 

Kedua, no viral no justice tidak menjamin dan memberikan perlindungan hukum. Biasanya dalam kasus/perkara viral, seluruh informasi pribadi (bahkan aib) seseorang akan tersebar luas. Meskipun muatannya belum tentu bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan asal usul sumbernya tidak diketahui. Padahal informasi privat bersifat rahasia dan harus tetap menjadi rahasia serta tidak boleh disebarluaskan secara sembrono.



Pasal 40 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan informasi pribadi. Di Amerika, pengungkapan privasi atau sengaja menyebarluaskan informasi privat orang lain kepada media massa termasuk dalam tindakan kriminal.

 

Dalam rezim hukum kekayaan intelektual (intellectual property right), segala bentuk dokumen/informasi/gambar/audio visual yang terkandung dalam video atau foto yang tersebar, berdasarkan Pasal 12 UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sekalipun diambil secara diam-diam (baca: tanpa izin) oleh orang lain, hak milik atas video atau foto tersebut tetap menjadi hak milik dari orang yang direkam atau hak cipta tetap ada pada orang yang direkam. Apabila disebarluaskan tanpa izin dan sepengetahuan si pemilik hak cipta, perbuatan tersebut termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta yang dapat dituntut secara hukum (vordering).

 

Menurut Edmon Karim, pengungkapan informasi dengan dalih kebebasan cenderung merupakan penyalahgunaan penguasaan yang lebih terhadap informasi. Hal Itu lebih jahat dari penjahatnya. 


Informasi yang sifatnya privasi adalah tetap privasi. Pengungkapan informasi privat menjadi publik tidak boleh secara sembarangan. Saat ini, berdasarkan Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (1) UU No.27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, penggunaan data pribadi seseorang secara melawan hukum termasuk ke dalam perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

 

KetigaNo viral no justice tidak menjamin dan memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum (due process of law), terutama pada kasus/perkara pidana. Dalam kasus/perkara viral, pelaku yang ada dalam video atau foto yang beredar tersebut akan ditetapkan sebagai tersangka dalam waktu yang relatif singkat.


Merujuk pada Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka muncul permasalahan sehubungan dengan penetapan tersangka si pelaku, terutama perihal:


 (i) kapan dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP sebagai dasar penetapan tersangka diperoleh? 

(ii) Apakah minimal dua alat bukti itu didapat pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 KUHAP? 

(iii) Atau pada tahap penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 KUHAP?

 (iv) apakah dua alat bukti itu relevan, dapat diterima, dan diperoleh secara sah? 

Serta (v) apakah seluruh barang bukti-bukti yang ada tersebut sudah dianalisis sesuai dengan tempus dan locus delicti?

 

Mengacu pada Pasal 1 angka 5 dan Pasal 1 angka 2 KUHAP, untuk menyematkan status tersangka kepada seseorang haruslah didahului oleh serangkaian tindakan untuk mengidentifikasi suatu peristiwa pidana (penyelidikan). Setelah itu, dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar peristiwa pidana tersebut menjadi jelas dan terang.



Berdasarkan Pasal 25 Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit dua alat bukti yang didukung barang bukti dan dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan. Artinya, sekalipun itu kasus/perkara viral, harus tetap memberikan jaminan kepastian hukum atas proses dan prosedur hukum yang dijalani oleh seseorang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum yang berarti di mana tidak ada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum.

 

Selain persoalan prosedur, bukti yang digunakan juga harus dapat diterima dan relevan. Sebab, berdasarkan prinsip exclusionary rules, tidak semua bukti dapat diterima. Bukti yang dapat diterima adalah bukti relevan dan diperoleh secara sah dan tidak melawan hukum. Bukti yang diperoleh secara tidak sah dan melawan hukum harus dikesampingkan.



Terkait keberadaan video atau foto sebagai bukti elektronik, berdasarkan Putusan MK No.20/PUU-XIV/2016 harus dilakukan atas dasar permintaan aparatur penegak hukum, yang dalam praktik validitasnya harus diuji dahulu melalui uji forensik dengan tetap menjamin dan menjaga kerahasiaan informasi dan privasi seseorang yang terkandung di dalamnya sesuai dengan Convention on Cybercrime yang memberlakukan klausul condition and safeguard pada kejahatan siber.


KESIMPULAN

 Pada akhirnya, no viral no justice sebagai strategi untuk mewujudkan keadilan sama sekali tidak pernah bisa menciptakan keadilan yang paripurna. No viral no justice menjadikan proses penegakan hukum tebang pilih antara viral dengan tidak viral. 


Summum ius summa injuria --keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi.


 

Akhir Tahun 2024 , adalah tahun harapan baru dimana antusiasme publik terhadap kebijakan pemerintahan baru mencapai tingkat tertinggi, terutama dalam persoalan mendaptkan akses keadilan di hadapan hukum.

 


Arif Rahman Hakim SH. MH.

Jakarta, 21 November 2024, 15:50 Wib


===========

Disclaimer : Tulisan ini adalah seri tulisan REFLEKSI AKHIR TAHUN ARH MEDIA

Part 1, Part 2, Part 3

 

Posting Komentar

0 Komentar