Orang-orang yang sering berpidato untuk penegakan hukum tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.
Rupanya ratusan orang yang sudah dihukum sebagai koruptor tak membuat orang jera untuk korupsi. Anehnya mereka semua tahu bahwa transaksi melalui elektronik itu bisa dilacak oleh PPATK, tetapi tetap saja mereka menggunakan modus tersebut.
kita sering tak bisa memahami kecerdasan para koruptor yang nekat korupsi dengan uang tunai dan transaksi perbankan. Intelektualitas mereka sudah bebal. Mereka menganggap bahwa hanya orang-orang sial yang akan tertangkap.
Buktinya masih banyak yang terus korupsi dan tak tertangkap.
Penting untuk mengingat bahwa dulu korupsi dianggap bisa ditoleransi, baik dari segi budaya maupun ekonomi.
Tak kurang dari ilmuwan ternama, Samuel Huntington, mengatakan bahwa:
"Korupsi bisa berperan sebagai minyak pelumas (lubricant, grease) dari pertumbuhan ekonomi di mana birokrasi yang lamban bisa digenjot. Malah ada yang menggunakan istilah functional corruption".
Para teknokrat kita saat itu bukan tak menyadari, melainkan secara sadar setengah menutup mata karena angka pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Para teknokrat kita waktu itu terbantu iklim kebebasan pers yang terkungkung ancaman pembredelan oleh pemerintah.
Alhasil, semua korupsi menemukan lahan yang subur sehingga korupsi diterima sebagai norma. Korupsi bukanlah kekecualian.
Jumlah Vonis Berat Hanya 10 Perkara di 2023, Sudahkah Pemerintah Serius Menindak Korupsi?
Tak heran jika para pengusaha waktu itu memasukkan korupsi sebagai bagian dari komponen investasi. Bentuknya bisa saham kosong, nepotisme dan kolusi dalam berbagai pengadaan, atau keuntungan yang dialirkan ke sejumlah badan sosial.
Dalam literatur mengenai korupsi yang jumlahnya sudah puluhan ribu karena studi mengenai korupsi sudah marak sejak 1980-an, ada yang membuat klasifikasi korupsi dengan menggunakan warna. Arnold J Heidenheimer banyak menulis persoalan korupsi, membagi korupsi dalam tiga warna:
korupsi hitam (black corruption), korupsi putih (white corruption), dan korupsi abu-abu (grey corruption).
Korupsi hitam adalah korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, merusak perekonomian, dan tak bisa dibenarkan apa pun alasannya. Korupsi putih adalah korupsi yang fungsional dan memberi dampak positif sehingga masih bisa ditoleransi. Adapun korupsi abu-abu adalah korupsi yang berada di antara kedua korupsi tersebut.
Celakanya, banyak korupsi yang masuk kategori korupsi abu-abu di mana para penguasa dan koruptor bisa bermain-main.
Di sini kontrol terhadap kekuasaan dan media ikut menentukan perubahan dari korupsi abu-abu menjadi korupsi yang masuk kategori putih.
Di negara otoriter, hal ini dengan gampang bisa dilakukan karena di situ masyarakat sipil antikorupsi tak berfungsi optimal.
Harapan masyarakat kepada Pemerintahan dan Pengendalian Korupsi di Era Prabowo
Mentalitas banyak orang Indonesia masih di lingkar di mana mereka merasa bisa mengubah korupsi yang mereka lakukan, hitam atau abu-abu, menjadi korupsi putih. Karena itu angka korupsi tidak pernah turun.
Habitus Korupsi
Untuk memahami bagaimana reproduksi korupsi dilakukan, saya meminjam pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus.
Korupsi tak disebabkan semata-mata karena kreativitas individu yang mampu mengakali hukum dan lembaga peradilan. Korupsi juga tak disebabkan semata-mata oleh struktur atau sistem yang memaksa setiap individu di dalamnya untuk melakukan korupsi.Korupsi dituntun oleh habitus yang memberikan panduan kepada individu di dalam masyarakat bagaimana berkata, berpikir, dan bertindak.
Habitus Individu bersifat tahan lama dan bisa diwariskan atau dipindah-posisikan mengikuti individu. Namun, habitus bukan struktur atau sistem yang deterministik.
Habitus dibentuk oleh individu-individu melalui perulangan praktik sosial dalam jangka waktu yang lama.
Habitus korupsi dibentuk oleh perulangan praktik korupsi yang dilakukan secara terus-menerus dan tanpa disadari kemudian menjadi sebuah habitus yang memberikan panduan dan pembelajaran kepada siapa pun untuk melakukan korupsi.
Karena habitusnya korup, praktik korupsi kemudian menjadi suatu tindakan normal dan wajar.
Korupsi Sistemik
Gagasan tentang sistem sosial yang cukup komprehensif dirumuskan oleh Talcott Parsons (1902-1979) dengan skema AGIL yakni adaptation atau adaptasi, goal attainment atau pencapaian tujuan, integration atau integrasi, dan latency atau pemeliharaan (Ritzer, 1996; Pramudya, 2011). Pertama, korupsi selalu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, termasuk beradaptasi dengan perubahan.
Karena itu, meskipun ada banyak UU dan regulasi antikorupsi dibuat, praktik korupsi tidak hilang karena korupsi mampu beradaptasi. Kedua, pencapaian tujuan yakni korupsi dilakukan untuk tujuan tertentu seperti akumulasi kekayaan atau membiayai ongkos pemenangan pemilu yang semakin mahal. Ketiga, sistem sosial memiliki aspek integrasi yakni bagaimana praktik korupsi mampu terintegrasi dengan birokrasi, kepentingan politik, atau hukum.
Ini yang menjelaskan mengapa korupsi tetap bisa dilakukan dengan memanfaatkan celah hukum dan bagaimana kepentingan di dalam partai politik atau birokrasi justru memberikan perlindungan terhadap praktik korupsi. Keempat, pemeliharaan.
Sebagai sebuah sistem, korupsi mampu mempertahankan dirinya sehingga tetap bertahan. Salah satu bentuknya dengan menerima korupsi sebagai sebuah keniscayaan dan aturan tidak tertulis yang berlaku bila seseorang ingin menjadi pejabat tinggi atau politisi sukses.
Korupsi juga dipelihara ketika masyarakat justru permisif dan terlibat dalam praktik korupsi kecil-kecilan dalam pelayanan publik. Meskipun gagasan tentang sistem yang dirumuskan Parsons cukup komprehensif, gagasan tersebut melihat manusia sebagai robot yang tidak berdaya melawan sistem. Sistem sosial di atas juga seperti sesuatu terberi dan masyarakat tinggal mewarisi dan melanjutkannya.
Sebagai Penutup saya mengutip : Italo Pardo dalam buku Between Morality and the Law menulis hal yang sangat bagus, ”a belief in the prevalence of corruption is corrupting in its own right”.
Kita harus percaya bahwa korupsi bisa diberantas. Membiarkan diri kita percaya bahwa korupsi itu biasa dan merajalela adalah juga sebuah korupsi.
Arif Rahman Hakim SH., MH.
Untuk Rubrik Refleksi Akhir Tahun Media ARH.
Jakarta, 13 November 2024, 16: 00 Wib.
Disclaimer : Tulisan ini adalah rangkaian serial Refleksi Akhir Tahun ARH.
Part 1 : Dapat Dilihat disini
Editor : Ilyas Husein

0 Komentar