Terima Kasih atas kepercayaan anda mengirimkan pertanyaan kepada redaksi ARH Media, yang merupakan publikasi resmi ARH LAW OFFICE , Advocate & Legal Consultant, semoga permasalahan yang anda hadapi mendapatkan solusi terbaik.
Sebelum menjawab pertanyaan saudari, izin kan kami menjeleaskan terlebih dahulu, kasus perceraian merupakan jenis kasus yang mendominasi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama (vide pasa 49 Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009) adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a) perkawinan;
b) waris;
c) wasiat;
d) hibah;
e) wakaf;
f) zakat;
g) infaq;
h) shadaqah;
i) ekonomi syari'ah.
Perkara perceraian merupakan bagian dari sengketa bidang perkawinan. Oleh karena Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka pintu masuk penyelesaian sengketa rumah tangga/perceraian ini adalah di Pengadilan Agama.
Yang harus di pahami untuk mengajukan perkara perceraian harus ada alasan yang cukup menurut hukum, sehingga gugatan cerai bisa dikabulkan. Jadi keberadaan pengadilan agama, dan desk perceraian di tujukan bukan untuh memudahkan perceraian akan tetapi solusi terhadap pihak yang mengalami rangkaian sengketa dalam perkawinannya.
Alasan-alasan tersebut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;
Ke enam alasan tersebut di atas juga diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan ditambah dua ayat lagi yaitu:
1. Suami melanggar taklik-talak;
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
Agar permohonan cerai / gugatan cerai dikabulkan, maka Pemohon/Penggugat harus dapat membuktikan bahwa permohonan/gugatannya beralasan hukum;
Nah sekarang kita bahas pokok permasalahan yang anda tanyakan apakah benar saksi dari pihak keluarga adalah lemah di persidangan perceraian ?
Permasalahan kehidupan rumah tangga adalah ranah yang sangat privat, banyak persoalan diantara suami istri yang tidak diketahui atau tidak mudah diketahui atau paling tidak sulit dideteksi oleh orang lain, apalagi bagi pasangan suami istri yang merantau dan jauh dengan keluarga.
Kesulitan mencari saksi yang mengetahui secara langsung pertengakaran suami istri serta hal yang menjadi sebab pertengkarannya sering dialami oleh para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama.
Terkadang kesulitan mencari saksi juga terjadi karena orang yang mengetahui persoalan, enggan datang ke Pengadilan karena takut dinilai mencampuri urusan rumah tangga orang lain atau takut dinilai membela salah satu pihak atau karena sebab yang lainnya, karena kehidupan di era digital saat ini menjadi semakin individualis, oleh karena itu pada kondisi saat ini, para pihak akan lebih mudah menyerahkan bukti elektronik dari pada menghadirkan dua orang saksi yang memenuhi syarat formil dan materiil.
Dalam Pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 maupun dalam Pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU.No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU.No.50 Tahun 2009, yang intinya bahwa dalam hal gugatan perceraian didasarkan pada alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau syiqaq, dalam memutus perkara perceraian tersebut harus didengar keterangan saksi�saksi yang berasal dari keluarga atau orang�orang yang dekat dengan suami istri. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami secara eksplisit bahwa pembuktian dalam perkara perceraian karena alasan tersebut harus dengan alat bukti saksi.
Untuk menghadirkan saksi yang secara Formal memenuhi syarat dalam kehidupan yang semakin individualis tentu tidaklah mudah, apalagi saksi yang memenuhi syarat materiil yakni yang melihat, mendengar dan menyaksikan langsung pertengkaran suami istri, oleh karena itu penulis berpendapat kehadiran saksi keluarga atau orang yang dekat dengan suami istri tersebut pada hakekatnya undang-undang ingin mengetuk kepedulian keluarga atau orang – orang yang dekat tersebut untuk turut serta berperan merukunkan kembali pasangan suami istri tersebut.
Maka saksi yang dihadirkan untuk perceraian dengan alasan pasal 19 (f) PP nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam, tidak harus melihat dan menyaksikan kejadian yang menjadi sebab pertengkaran secara langsung dan dalam kondisi seperti ini bukti elektronik dapat dijadikan bukti yang meyakinkan hakim mengenai sebeb pertengkaran pasangan suami istri tersebut, misalnya bukti printout Chat WhatsApp, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya.
Dengan demikian bukti elektronik dalam perkara perceraian husus kasus dengan alasan pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI, maka bukti elektronik menjadi bukti permulaan dan sekaligus bukti persangkaan bila para saksi keluarga tidak ada yang melihat kejadian secara langsung, atau tidak ada yang mengetahui sebab pertengkaran para pihak.
Bukti elektronik juga dapat menjadi sarana yang mudah bagi pihak untuk membuktikan peristiwa yang sering disangkal oleh pelaku, misalnya kasus perselingkuhan dari yang paling ringan sampai yang berat untuk saat ini lebih mudah diungkap dengan bukti eletronik dan dengan Prinsip Praduga Otentisitas, maka tidak mudah bagi pelaku untuk mengelak sepanjang kejadian tersebut memang benar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa husus terhadap perceraian dengan alasan adanya pertengkaran secara terus menerus dan tidak ada harapan untuk rukun kembali (vide pasal kekuatan19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI) bukti elektronik tidak dapat berdiri sendiri, karena regulasinya memang mengharuskan para pihak menghadirkan saksi dari unsur keluarga atau orang yang dekat, sedangkan terhadap perceraian dengan alasan-alasan yang lain, kekuatan bukti elektronik dapat dinilai oleh hakim dengan penerapan prinsip Praduga Otentisitas.
Dengan penerapan prinsip Praduga otentisitas (Presumption of authenticity), maka dalam menilai kekuatan bukti elektronik, hakim harus melihat sikap pihak lawan:
1. Jika pihak lawan mengakui baik secara tegas (pernyataan pengakuan) atau secara diam-diam (tidak membantah), maka kekuatan bukti elektronik tersebut sama dengan Pengakuan.
2. Jika pihak lawan membantah, maka dibebani bukti untuk meneguhkan dalil bantahannya dan apabila pihak lawan bisa membuktikan kalau bukti elektronik tersebut tidak benar, maka bukti elektronik ini lumpuh / tidak mempunyai kekuatan, sehingga patut dikesampingkan. Dalam dalam membuktikan dalil sanggahan inilah berlaku segala ketentuan verifikasi dan otentifikasi bukti elektronik yakni digital forensic, keterangan saksi ahli dan lain-lain.
3. Jika pihak lawan membantah, namun tidak dapat sepenuhnya membuktikan ketidak benaran bukti elektronik tersebut, maka hakim dapat menilai kekuatan bukti elektronik tersebut sebagai bukti permulaan ataupun bukti persangkaan yang harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang lainnya.
Demikian kiranya jawaban yang kami dapat sampaikan, semoga dapat menjadi edukasi hukum bagi masyarakat pencari keadilan.
============================
Rubrik Konsultasi online adalah rubrik konsultasi hukum ARH Lawa Office, yang salah satunya di muat dalam ARH Media sebagai sarana edukasi hukum di bawah pengawasan para advokat di ARH Law Office.
Disclaimer : Chat Konsultasi hukum di publikasi dengan seizin pihak yang berkonsultasi, bagi yang keberatan perkaranya di tulis sebagai edukasi hukum kami tidak akan mempublikasikannya.

2 Komentar
Akhirnya beneran di jawab juga, terimakasih admin rubrik konsultasi hukum, dan terima kasih sudah merahasiakan identitas saya sebgai pihak yang berkonsultasi, semoga makin jaya ARH Law Firm di bawah pimpinan Bang arif..........wasalamualaikum wr. wb, jazakallah khairan katsir .
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya
BalasHapus