Fakta :
·
Pemilih muda (rentang usia 17-39 tahun), utamanya generasi milenial dan generasi Z, akan menjadi penyumbang suara terbesar dalam Pemilu 2024. Jumlahnya mencapai lebih dari 107 juta, atau 50-60% dari total 204 juta daftar pemilih tetap (DPT) secara nasional.
Artinya, secara tidak langsung mereka akan menjadi penentu kebijakan negara dalam
politik praktis.
Namun, bagaimana pandangan para kaum muda sendiri terhadap
politik elektoral?
·
Pertama, ada yang tertarik
dengan politik, sehingga mereka memiliki kriteria dan harapan terhadap para
pemimpin politik – figur dan partai politik.
·
Kedua, ada yang tidak
tertarik dengan politik atau dikenal sebagai apolitis,
yang menyebabkan mereka tidak memiliki kriteria terhadap calon pemimpin atau
pandangan terhadap politik.
=
Figur dan partai politik di mata kaum muda
Partai politik dan figur-figur politik
sebenarnya adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Ini karena keberhasilan
partai politik hampir selalu
dipengaruhi oleh figur partai politik itu sendiri. Mereka yang
mampu memenangkan hati rakyat akan turut memperbesar pengaruh partai politik
tersebut.
Mereka yang peduli dengan politik menjabarkan lebih detail
seperti apa kriteria figur pemimpin, figur politik, serta partai politik yang
mereka harapkan.
Secara garis besar, ada empat kriteria yang generasi muda
harapkan dari siapa pun pemimpin yang terpilih dari kontestasi politik.
Pertama adalah seiman. Dua dari tiga narasumber
perempuan memandang agama sebagai modal utama untuk memilih calon pemimpin masa
depan. “Seiman” adalah kata yang pertama kali mereka sebut sebagai kriteria
figur politik yang mereka harapkan. Mereka meyakini bahwa ajaran agama mereka -
Islam - adalah yang terbaik, sehingga individu yang seiman dianggap cocok untuk
memimpin mereka.
Kedua adalah yang memahami kondisi di daerah.
Bagi para pemilih muda, baik laki-laki maupun perempuan. Pemahaman terhadap
kondisi daerah setempat merupakan hal wajib yang harus dikuasai oleh calon
pemimpin politik. Ini mencakup penguasaan bahasa daerah, adat istiadat, dan
budaya setempat. Tidak hanya sekadar selebrasi dan datang kampanye dengan
mengenakan pakaian daerah.
Kriteria kedua tersebut, menurut saya, mencerminkan
perbedaan mendasar pandangan politik di antara kelompok muda di daerah dan di
kota-kota besar.
Kaum muda di daerah, khususnya di Pulau Derawan dan umumnya
di Kalimantan Timur, tidak berpikir terlalu ambisius mengenai politik nasional.
Mereka lebih tertarik pada isu-isu yang berlangsung di daerah karena berkenaan
langsung dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Di kota-kota besar, termasuk ibu kota Jakarta, pandangan
politik kaum mudanya terkadang lebih luas dan melewati batas-batas
regional. Menurut saya, ini terjadi karena kelompok muda di kota besar lebih
mudah mendapatkan informasi, termasuk dari media mainstream. Ini
membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh perkembangan isu-isu terkini,
termasuk dalam menentukan arah politik.
Paparan informasi dari media membuat kaum muda dapat dengan
cepat mengetahui perkembangan isu-isu nasional, yang kemudian memungkinkan
mereka berpikir, berdiskusi, dan merumuskan berbagai formulasi terkait isu
tersebut.
Paparan informasi tentunya memberikan dampak positif bagi
para kaum muda, membuat mereka menjadi lebih berpengetahuan luas. Namun, ini
seringkali secara tidak langsung membuat mereka melupakan masalah yang ada di
lingkungan mereka sendiri. Ini karena mereka menganggap bahwa lebih aktif dalam
diskusi nasional dapat membuat mereka lebih “terlihat” dan “terkenal.”
Kriteria ketiga adalah politikus atau calon
pemimpin harus mampu bekerja berdasarkan kepentingan masyarakat dan aktif
memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah.
Contohnya, kaum muda ini mengharapkan adanya pemimpin yang
kebijakannya dapat membantu mereka untuk mendapatkan beasiswa guna melanjutkan
pendidikan di luar Kalimantan, memberikan bantuan agar mereka bisa bekerja di
berbagai institusi, dan dapat meningkatkan infrastruktur di daerah.
Keempat adalah memiliki karakter sederhana dan
tidak koruptif. Banyak juga kaum muda yang tidak terlalu memprioritaskan isu
agama. Dari delapan narasumber, hanya dua yang memprioritaskan isu agama.
Sisanya mereka lebih mengutamakan kualitas dari figur-figur politik tersebut.
Misalnya, mereka lebih suka figur-figur yang tidak pernah
terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurut mereka, Indonesia
telah dirusak oleh perilaku koruptif. Oleh karena itu, calon pemimpin dengan
catatan buruk atau pernah dicurigai terlibat dalam kasus korupsi tidak akan
menjadi idola bagi mereka.
Selain itu, “kesederhanaan” juga menjadi kriteria bagi
kelompok muda dalam memilih figur-figur politik. Sebagian besar dari mereka
menganggap bahwa gaya hidup glamor para politikus adalah contoh buruk dan tidak
pantas ditampilkan di depan publik. Ini karena para kaum muda meyakini bahwa
penghasilan politikus yang menjadi pemimpin daerah atau negara berasal dari
pajak masyarakat.
Temuan riset saya senada dengan hasil penelitian CSIS yang
menyatakan bahwa pemimpin masa depan harus memiliki karakter yang jujur, tidak
korupsi dan sederhana.
Mengapa masih banyak generasi muda yang apolitis?
Pertama adalah kurangnya pengenalan terhadap
sosok calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun nasional. Politikus baru
sering kali muncul hanya pada saat masa kampanye, sehingga pemilih muda tidak
mendapatkan informasi yang cukup tentang calon pemimpin tersebut. Ini kemudian
membuat pemilih muda merasa bahwa politikus cenderung menjaga jarak dengan
masyarakat dan hanya hadir ketika ada kepentingan elektoral.
Kedua adalah adanya kekhawatiran terhadap
kritik, hujatan, dan penilaian berlebihan dari politikus senior kepada
politikus junior. Ini dialami salah satunya oleh Gibran Rakabuming Raka, Wali
Kota Solo, yang disebut “anak
ingusan” oleh Panda Nababan, politikus senior Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), karena santer diisukan akan maju dalam Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2024.
Referensi pemilih muda dalam memilih
Bagi pemilih muda, terutama pemilih pemula di rentang usia
16-18 tahun, yang paling umum terjadi adalah mengikuti arahan atau pilihan
orang tua atau keluarga terdekat lain ketika hendak mencoblos kandidat dalam
pemilu.
Ini karena mereka yang berada pada usia tersebut masih
tergolong “remaja
pertengahan”. Pada usia ini mereka mulai mengalami
konflik terhadap kemandirian dan kontrol diri. Otonomi dalam berpikir,
termasuk menentukan pilihan mulai tumbuh pada usia ini.
Namun, dalam beberapa situasi, mereka mungkin masih bingung
dalam menentukan pilihan sehingga pendapat kedua dan “bimbingan” dari
orang sekitar, termasuk orang tua, menjadi perlu.
Kendati demikian, banyak pula pemilih muda yang sudah
memiliki preferensi sendiri dalam memilih pemimpin politik dan tidak mau “dikekang”
oleh pilihan orang tuanya. Tentunya hal ini sangat tergantung pada karakteristik
generasi itu sendiri. Ada yang cenderung menyukai kebebasan,
fleksibilitas, kemandirian, teknologi media sosial, dan internet of
things (IoT).
Yang lebih penting, ketika berbicara tentang pemilih dari
kelompok muda di daerah, preferensi mereka cenderung tertuju pada calon
pemimpin yang memahami kondisi di daerah dan bersedia bekerja berdasarkan
aspirasi mereka, mengingat bahwa pemimpin tersebut akan mendapatkan penghasilan
dari dana publik.
Semoga Pemilu 2024, membawa dampak terbaik bagi kemajuan Bangsa
Indonesia Ke depan, dalam menghadapi ketidak pastina Global yang menghantui.


0 Komentar