Keyakinan publik terhadap integritas Pemerintah sangat diperlukan untuk keyakinan pada demokrasi; dan ketika kita kehilangan kepercayaan pada sistem, kita kehilangan kepercayaan pada segala sesuatu yang kita perjuangkan dan belanjakan -
ARIF RAHMAN HAKIM SH. MH.,-
TOKOH MUDA BIMA, PRAKTISI HUKUM, CALON LEGISLATIF DPRD DKI JAKARTA 2024-2029
DAERAH PEMILIHAN : CILINCING, KOJA, KELAPA GADING, PULAU SERIBU
Riuh suasana jelang Kontestasi Pemilu 2024 jelas makin terasa, hiruk pikuk dukungan dan manuver langkap para kontestan dan Partai politik mewarnai media massa belakangan hari, hal ini dapat di pahami, karena begitu besarnya harapan Masyarakat terhadap system demokrasi yang blebih baik kedepannya, akan kah Kontestasi Pemilu 2024 ini menghasilkan kesejahteraan dan penerapan demokrasi yang jauh lebih baik bagi Indonesia? Inilah yang akan di analisis dalam tulisan ini.
Pemilu Indonesia selalu menghadirkan beragam fenomena menarik, mulai dari pencarian format koalisi yang dinamis, pengutamaan kepentingan elit, perubahan pola interaksi antar aktor yang terlihat kontras selama dan sesudah pemilu, hingga tren dinasti politik.
Bagi mereka yang skeptis, deretan fenomena itu telah membuat Pemilu tampak hanya sebagai wujud demokrasi prosedural dengan suguhan perebutan kekuasaan. Padahal, jika diskursus publik dibawa ke tingkat lebih dalam, pemilu seharusnya menjadi tonggak penting bagi pendalaman kualitas demokrasi Indonesia.
Dalam hal ini, sudah waktunya kita para pemilih yang harus menjadi lebih kritis dalam memilih kandidat dan “membaca” maksud-maksud tersirat para elit politik. Jangan sampai kita justru terjebak dalam politik pecah belah.
Korelasi antara Pemilu dan demokratisasi
Para peneliti telah meyakini bahwa pemilu secara berkala dapat menopang demokratisasi. Sebab, perhelatan pemilu turut mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, keterbukaan, dan persamaan. Adanya pemilu juga telah menyadarkan masyarakat terhadap hak-hak politiknya.
Namun, sebagian ahli justru memandang pesimis relasi pemilu dan demokratisasi. Mereka berargumen pemilu bukan menjadi pembuka keran demokratisasi, tetapi malah menjadi instrumen rezim untuk memperkuat kekuasaannya melalui mobilisasi perangkat negara guna memenuhi kepentingan elektoralnya.
Fenomena dinasti politik yang sedang hangat menjadi perbincangan publik belakangan ini merupakan contoh bagaimana rezim penguasa menggunakan prosedur pemilu untuk melanggengkan kekuasaannya.
Di negara demokrasi mapan sekalipun, seperti Amerika Serikat (AS), pemilu bahkan memfasilitasi munculnya politikus-politikus populis dan menciptakan polarisasi pemilih dengan sentimen partisan ekstrem. Dialog konstruktif untuk mengatasi persoalan negara bersama-sama pun kerap menemui jalan buntu karena masyarakat lebih mementingkan afiliasi ideologi politiknya. Konsekuensinya, kualitas demokrasi mengalami kemunduran.
Wajah Demokrasi Elektoral Indonesia
Sistem demokrasi yang salah satunya diwujudkan dalam pemilu berkala seperti di Indonesia, sebenarnya dimaksudkan untuk membuat masyarakat lebih berdaulat dalam menentukan figur yang mereka anggap kompeten untuk memperbaiki situasi nasional.
Pada tataran elit, sistem demokrasi juga membuka peluang hadirnya elit-elit politik baru di berbagai level kekuasaan. Distribusi kekuasaan tersebar ke spektrum yang lebih luas, tidak hanya terpusat pada satu orang sebagai patron utamanya.
Sayangnya, demokrasi elektoral Indonesia juga menghasilkan kondisi paradoks. Pemilu yang membawa semangat kompetisi, keterbukaan, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas belum sepenuhnya berdampak pada tata kelola pemerintahan berbasis meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi).
Praktik politik kekerabatan yang kemudian membentuk dinasti justru tumbuh dengan subur. Politik uang sebagai benih korupsi juga menjadi intens dalam setiap perhelatan pemilu.
Hal yang lebih disayangkan, partai politik yang seharusnya menjadi institusi penggerak demokrasi kini justru turut berkontribusi pada anomali tersebut. Partai terjebak dalam budaya politik feodalisme, termasuk dalam dinasti politik, sehingga gagal menumbuhkan semangat egalitarian dalam tata kelola organisasinya.
Tantangan Ketidak Pastian Global (VUCA--Variabilitas, Ketidakpastian, Kompleksitas, dan Ambiguitas) dan Harapan Pemimpin baru yang berkualitas.
Tidak dapat di pungkiri kondisi global saat ini sedang dalam fase tidak menentu, VUCA adalah akronim yang berarti volatility (volatilitas), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), dan ambiguity (ambiguitas), kombinasi kualitas yang jika digabungkan mencirikan sifat dari beberapa kondisi dan situasi yang sulit.
Kita dapat melihat kondisi ekonomi yang tidak stabil di beberapa belahan dunia, kerapuhan tatanan demokrasi sehingga mmeicu banyak gejolak sosial, peperangan dan beragam kemunduran lainnya, dan indonesia tidak bisa tidak mengabaikan segala situasi-situasi tersebut.
Pemilu 2024, menjadi harapan banyak orang agar kondisi-kondisi ini membaik, ekpektasi besar agar mendapatkan Calon Pemimpin yang akan dapat membimbing Indonesia melalui situasi global yang tidak menentu.
Pemilih sebagai penentu masa depan demokrasi
Terlepas dari segala kekurangannya, demokrasi Indonesia tentunya masih lebih baik dibandingkan negara-negara demokrasi baru yang mengalami pembalikan ke rezim otoriter.
Mengingat demokrasi menempatkan rakyat sebagai kerangka utama konseptualnya, kesadaran pemilih menjadi titik awal untuk mendorong penguatan demokrasi kita.
Mengharapkan elit politik tentunya lebih sulit karena persilangan kepentingan di antara mereka telah berakibat pada stagnasi dan penurunan kualitas demokrasi.
Sementara itu, partai politik memang memiliki posisi krusial dalam demokrasi Indonesia. Namun tanpa dukungan pemilih, jalan parpol menuju kekuasaan juga akan menghadapi hambatan serius berupa rendahnya legitimasi.
Pemilu 2024 menghadirkan komposisi pemilih muda yang jauh lebih besar dibandingkan pemilih usia tua.
Pergeseran generasi pemilih ini akan berdampak pada perubahan pola perilaku pemilih. Pemilih muda tentunya lebih rasional dalam memutuskan pilihan politik mengingat mereka menikmati pendidikan lebih tinggi, kecakapan memanfaatkan teknologi, akses informasi lebih beragam, serta berpartisipasi dalam perdebatan publik seputar wacana politik dan kebijakan di media sosial.
Namun, publik harus tetap menjadi pemilih rasional, yang menempatkan tawaran program kebijakan maupun rekam jejak kandidat sebagai pertimbangan utamanya. Pemilih perlu aktif menagih rencana aksi gagasan kebijakan kandidat sekaligus menilai apakah programnya logis dan realistis atau hanya retorika populis.
SUDAH SAATNYA, MEWUJUDKAN SISTEM DEMOKRASI YANG SEMAKIN BAIK DEMI KEMAJUAN NUSA DAN BANGSA


0 Komentar