24 Juli 2023
yang lalu, mata dunia tertuju kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
Antonio Guterres. Karena dia menyampaikan peringatan serius kepada
negara-negara di dunia. Tentang ancaman negara gagal. Tentunya hal ini menjadi
menarik di bahas, karena momentum saat ini mata rakyat sedang tertuju pada 3
Calon Presiden dan Calon wakil Presiden yang bersolek, dengan mengusung isu-tema soal penanganan Hutang Indonesia.
Dalam
laporannya tersebut yang berjudul; A World of Debt (Dunia
Utang), Guterres memberi peringatan serius terkait utang publik global di
tahun 2022, yang mencetak rekor 92 triliun US Dolar. Angka tertinggi sepanjang
masa.
Sekjend
kelahiran Portugal itu mengatakan, sebanyak 52 negara, hampir 40 persennya
adalah negara berkembang, berada dalam masalah utang yang serius. Katanya
seperti dirilis di website resmi United Nation, Rabu, 12 Juli 2023.
Yang menjadi
perhatian dia, adalah tingginya angka pembayaran bunga utang (belum termasuk
pokok utang), yang melebihi beberapa belanja publik pemerintah di sektor yang
seharusnya menjadi mandatory. Sektor mandatory menurut Guterres yang terpenting
ada dua; Kesehatan dan Pendidikan.
Beberapa
negara memang tercatat membayar bunga utang lebih tinggi ketimbang belanja
sektor mandatory. Terutama negara-negara di Benua Afrika. Menurut dia, jika ini
diteruskan, potensi untuk menjadi negara gagal terbuka lebar.
Bagaimana
dengan Indonesia?.
Dalam APBN
kita, bunga utang yang dibayar pemerintah di tahun 2022 sebesar Rp 386,3
triliun. Sementara anggaran Kesehatan di tahun 2022 sebesar Rp 176,7 triliun.
Sedangkan belanja di sektor Pendidikan mencapai Rp 472,6 triliun.
Di sisi lain,
potensi angka utang Indonesia masih akan membesar. Pertama karena defisit
neraca APBN. Kedua, karena pagu rasio utang dengan Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) sesuai Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, masih
terbuka untuk nambah utang.
Rasio utang
Indoneaia tahun 2023 masih di angka 38,15 persen dari PDB. Sedangkan pagu di
dalam UU 17/2023 tersebut dipatok 60 persen dari PDB. Artinya masih berpotensi
untuk nambah utang berkali-kali lipat.
Dan jika betul
nambah terus, maka belanja bayar bunga utang niscaya akan melampaui belanja
sektor Pendidikan. Bahkan bisa saja melampaui belanja gabungan antara
Pendidikan dan Kesehatan.
Artinya,
Indonesia juga berpotensi menjadi negara gagal. Dan kita tidak perlu defense,
atau malu-malu mendiskusikan soal ini.
Pemerintah tidak
perlu nyolot dan mengelak dengan membandingkan dengan rasio utang Jepang yang
mencapai 260 persen dari PDB. Karena kita harus utuh menjelaskan informasi
tersebut.
Karena Jepang
ternyata juga kreditur besar ke beberapa negara. Bahkan Jepang memegang surat
utang Amerika Serikat sebesar 1,3 triliun USD atau sekitar 18.500 triliun
rupiah. Sementara utang Jepang didominasi utang dalam negeri, dalam satuan mata
uang Yen. Bukan USD.
Amerika Serkat
sendiri juga utangnya tinggi. Mencapai rasio 137 persen dari PDB. Tetapi
lagi-lagi, AS juga kreditur besar ke sejumlah negara. Apalagi AS ditopang oleh
jaminan pemasukan pajak dari puluhan the biggest company in the world, yang
berkantor pusat di AS. Jadi ojok dibandingke.
Nah, daripada
sibuk membuat perbandingan yang tidak apple to apple, lebih baik kita
merefleksi diri. Muhasabah. Untuk mencari resep jitu agar Indonesia tidak
menjadi negara gagal. Karena negara ini milik rakyat. Pemerintah boleh
shutdown. Tapi negara tidak boleh.
Pentingnya
Sistem
Dalam buku tentang Negara Gagal yang ditulis ekonom
asal Turki-Amerika, Daron Acemoglu dari Institut Teknologi Massachusetts dan
ilmuwan politik James A. Robinson dari Universitas Harvard. Buku ini pertama
kali dicetak tahun 2012 silam.
Mereka
mengatakan kemajuan atau kemunduran suatu negara, ditentukan oleh desain
institusi politik dan ekonominya. Suatu negara dapat terus berjalan dan
mencapai titik kemakmuran, bila dikelola dengan cara yang tepat.
Ini artinya
sistem. Bukan tergantung orang (pemimpin).
Bahkan mereka mengatakan, meskipun negara kaya
sumber daya alam, dan ditopang iklim yang mendukung, (seperti Indonesia), bisa
saja menjadi negara gagal. Apabila tidak dijalankan dengan sistem yang
tepat.
Kedua
akademisi itu memisahkan institusi politik dan ekonomi ke dalam dua bentuk.
Yaitu; institusi politik ekonomi inklusif, dan institusi politik ekonomi ekstraktif.
Intinya,
institusi politik ekonomi inklusif ini memiliki kebijakan yang tidak hanya
memberi keuntungan kepada kaum elit. Tapi juga memberi kemakmuran kepada rakyat
mayoritas. Secara politik, rakyat juga bisa berpartisipasi aktif. Punya saluran
konstitusional. Sehingga bisa mengontrol tindakan penguasa.
Sebaliknya,
institusi politik ekonomi ekstraktif merupakan wujud kekuasaan dimana sumber
daya ekstraktif hanya dikuasai oleh segelintir orang (oligarki), yang didukung
oleh kekuatan politik dan kekuasaan. Jika Institusi ini yang menguasai maka, akan memicu kesenjangan ekonomi yang lebar.
Nah, bagaimana
wajah Indonesia? Jika ditelaah dengan pisau analisis yang dipaparkan kedua
penulis buku negara gagal itu.
Sistem politik
Indonesia saat ini, sejak era Reformasi, menempatkan Partai Politik dan
Presiden terpilih menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Partai politik juga
penentu calon presiden yang disuguhkan kepada rakyat untuk dipilih. Dan partai
politik juga melalui DPR sebagai pembentuk Undang-Undang yang mengikat 270 juta
rakyat Indonesia melalui paksaan hukum (law enforcement).
Di sisi lain,
faktanya; 1 persen penduduk Indonesia menguasai setengah kekayaan
nasional. Karena angka GINI rasio kita terhadap kekayaan nasional mencapai
angka sebesar 0,381.
Sedangkan GINI
rasio terkait penguasaan tanah di Indonesia, yang mencapai angka 0,58, artinya
1 persen penduduk menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang.
Sementara 40
persen penduduk Indonesia masuk dalam kerentanan atau kemiskinan berdasarkan
angka patokan Bank Dunia.
Kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan ketidakadilan sosial mungkin tidak kita rasakan di
dalam ruangan rapat pembuat kebijakan di Jakarta. Tetapi di jalanan, di kampung
dan gang sempit, di daerah-daerah, di desa-desa, juga di pulau-pulau kecil di
luar Jawa; Sangat terasa dan tampak nyata.
Jadi marilah
kita membangun kesadaran kolektif. Republik ini harus menjadi milik semua.
Bukan milik segelintir orang atau kelompok tertentu.
Hentikan
kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara
liberal. Karena politik liberal yang transaksional, dan semata-mata
berorientasi kekuasaan itu telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan
jiwa, rasa, etika, dan kehormatan.
Pilpres
Langsung yang kita adopsi copy paste begitu saja telah melahirkan politik
kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita
jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa
difabrikasi melalui media.
Belum lagi
elektabilitas yang diframing melalui lembaga survei. Lalu diresonansi buzzer di
medsos dengan narasi-narasi saling hujat atau takliq buta puja-puji. Maka,
semakin mahal biaya make up-nya, semakin glowing di mata rakyat, yang disodori
realita yang dibentuk.
Oleh karena
itu, marilah kita kembali ke sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri
bangsa. Sistem bernegara yang tidak meninggalkan Pancasila. Khususnya sila
keempat dan ketiga.
Sistem
bernegara yang belum pernah secara benar dan tepat diterapkan, baik di era Orde
Lama maupun Orde Baru yang kita implementasikan secara menyeluruh dan kesadaran yang sama, yaitu KESEJAHTERAAN RAKYAT.
Salam ARH
SALAM Nomor 9

0 Komentar