ARH MEDIA - Usai bertemu dengan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Minggu
(8/10/2023), Syahrul Yasin Limpo (SYL) menegaskan bahwa
proses hukum yang sedang berjalan saat ini akan dihadapinya secara koperatif
dan dengan penghormatan terhadap ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dia juga berharap supaya ke depan penegakan hukum bisa dilakukan secara
bersih dan tidak dicampuradukan dengan politik.
“Saya berharap semoga ke depan
upaya penegakan hukum dan pemberatasan korupsi lebih kuat dan dilakukan secara
bersih, serta tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik praktis,” ucap
Syahrul, dikutip Senin (9/10/2023).
Harapan senada juga disampaikan
oleh Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang menginginkan tidak
adanya penegakan hukum yang dilakukan atas dasar kepentingan politik. Dia
bicara demikian menyikapi kadernya yakni mantan Menteri Pertanian SYL
yang dikabarkan telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi
oleh KPK."Nah, soal politik hukum, kita
berupaya semoga itu tidak terjadi," ucap Paloh di kantor DPP NasDem,
Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Apakah dalam kenyataannya politisasi
penegakan hukum itu memang benar adanya untuk menjatuhkan lawan lawan politik
penguasa ?.Benarkah memang ada upaya untuk melumpuhkan hukum supaya tetap
berada dibawah kepentingan politik penguasa ?. Bagaimana menempatkan posisi
hukum ketika harus berhadapan dengan kepentingan politik atau kepentingan
penguasa ?.
Fenomena Politisisasi Penegakan
Hukum
Politisasi hukum memiliki makna
menggunakan hukum sebagai alat demi kepentingan politik untuk menghabisi lawan
lawan politiknya. Menjelang tahun politik, trend untuk menggunakan penegakan
sebagai alat untuk menjatuhkan lawan lawan politik sudah sering terjadi
sehingga dianggap hal yang biasa biasa saja.
Politisasi hukum memang sulit untuk
dibuktikan namun bisa dirasakan kebeadaannya. Isu soal adanya politisasi penegakan hukum untuk
kepentingan politik ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga
ada di mancanegara. Seperti di Amerika Serikat, penegakan hukum terhadap mantan
Presiden AS ke-45, Donald Trump juga dianggap sebagai serangan politik dari
Partai Demokrat ke politikus Partai Republik sehingga dinilai tidak semata mata
aspek penegakan hukum yang terjadi disana.
Dalam kasus yang menjeratnya,
Donald Trump harus menyiapkan berbagai tangkisan hukum atas 30 dakwaan yang
disangkakan kepadanya. Amerika Serikat yang selama ini dirujuk sebagai kampiun
hukum dinilai menggunakan alat kekuasaan rezim untuk mengganjal Trump pada
Pilpres 2025.
Di Indonesia, penegakan hukum yang “diduga”
untuk kepentingan politik pernah
terjadi pada saat Presiden Abdurrahman Wachid atau Gus Dur berkuasa. Pada tahun
2001, Gus Dur diterpa rumor penyalahgunaan bantuan dana dari Sultan Brunei dan
Bulog. Sangkaan itu tidak pernah terbukti kebenarannya sampai hari ini karena
kasus hukum ini tidak diadili sebagaimana mestinya. Tapi kasus ini telah
menyebabkan Gus Dur harus kehilangan
kekuasaannya.
Menyikapi kasus yang menimpa Gus
Dur, pada tahun 2013 yang lalu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD secara
tegas menyatakan, bahwa baik secara hukum pidana maupun hukum tata negara,
tidak ada kesalahan Gus Dur yang membuat ia harus dilengserkan dari kursinya.
Prahara politik 2001 itu akhirnya
mendasari lahirnya kewenangan MK untuk menguji impeachment
presiden untuk bisa dijatuhkan dari kursi kekuasaannya. Akhirnya UUD 1945
memberi aturan tegas bahwa presiden bisa dimakzulkan apabila terbukti secara
hukum melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden. UUD 1945 melarang tegas presiden dilengserkan
berdasarkan asumsi dan bualan politik semata.
Dalam catatan lainnya, dimana hukum
harus kalah dengan kepentingan politik menimpa pula kepada para aktifis yang
kritis kepada penguasa. Para Aktivis yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah dan dianggap berseberangan secara
politik dengan kekuasaan, langkah penegakan hukumnya sangat cepat bahkan
terkesan sengaja dicari cari kesalahannya. Seperti apa yang dialami Syahganda
Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan yang lain lainnya.
Mereka semua dibidik akibat cuitan
di Medsos yang dianggap berisi konten yang dapat menghasut publik melakukan
aksi penolakan atas pengesahan Undang-Undang Omnibus Law (UU No. 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja).
Kali ini kasusnya sampai ke
pengadilan dengan tuntutan penjara selama 6 tahun lamanya. Walau akhirnya
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis 10 bulan pada 29 April
2021 lalu, tapi kasus ini dinilai sarat dengan kepentingan politis untuk
membungkam suara suara yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa.
Publik bisa menyaksikan dengan
begitu gamblang bagaimana penegakan hukum yang bernuansa politik dijalankan
untuk menjatuhkan lawan lawan politik penguasa.
Munculnya bau bau penegakan hukum
yang sarat kepentingan politik juga terjadi akhir akhir ini ketika KPK dengan
tiba tiba memanggil Muhaimin Iskandar alias Cak Imin atas
kasus korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tahun 2012. Kasus
itu sudah lama terjadinya tapi entah kenapa tiba tiba berusaha untuk di ungkit
kembali saat Cak Imin berpasangan dengan Anies Baswedan sebagai pasangan Capres
dan Cawapres dalam Pilpres 2024.
Nuansa kepentingan politik bermain
dalam penegakan hukum juga menimpa kader kader Nasdem yang duduk di kabinet
seperti Jhony G Plate, dan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Lucunya kasus
ini seolah olah hanya mereka berdua saja yang diproses hukum untuk bisa dikirim
ke penjara. Pada hal dalam kasus yang melibatkah Jhony G Plate misalnya diduga
banyak elite politik di lingkaran istana yang terlibat tetapi tidak diusut sebagaimana
mestinya.
Adanya politisasi hukum untuk
kepentingan politik penguasa memang dapat dirasakan tapi memang sulit untuk
dibuktikan. Dalam hal ini kalau ditanya kepada Pemerintah atau rejim yang
sekarang berkuasa tentu saja akan dengan tegas menolaknya. Bahwa politisasi
penegakan hukum untuk kepentingan politik itu tidak ada. Tapi publik tentu bisa
menilainya berdasarkan nalar dan logikanya.
Hukum Sengaja Dilumpuhkan ?
Dalam hukum dikenal jargon klasik
dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus yang hidup pada 43 SM yaitu fiat
justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh). Konsep
itu menegaskan bahwa penegakan hukum tidak kenal waktu, tidak kenal konteks,
termasuk tidak kenal pemilu sekali pun. Bahkan dalam perang, kejahatan tetaplah
kejahatan yang harus diadili pelakunya.
Hukum humaniter harus ditegakkan
saat itu juga. Perang tidak bisa menjadi alasan pemaaf bagi Adolf Eichmann
lolos dari tiang gantungan tepat pada pergantian hari 31 Mei - 1 Juni 1962.
Oleh sebab itu, Dewi Themis yang
menjadi simbol penegakan hukum digambarkan memakai tutup mata dengan pedang
bermata dua. Sebuah simbol peradaban hukum dalam mencari keadilan tanpa kenal
waktu dan siapa yang akan ditindak dengan segala dampaknya.
Penegakan hukum yang harus
dilakukan dalam segala medan dan “cuaca” memang sangat ideal untuk dilaksanakan
dengan catatan penegakan hukumnya memang benar benar dijalankan secara adil,
transparan sesuai dengan ketentuan yang ada. Tetapi di tengah tengah kondisi
penegakan hukum di Indonesia yang sarat dengan kepentingan politik penguasa,
adagium penegakan hukum yang harus dijalankan dalam segenap “medan” dan” cuaca”
kiranya kurang tepat juga.
Mungkin itulah sebabnya lembaga
penegak hukum seperti Kejaksaan Agung menunda seluruh proses pemeriksaan para
Capres-Cawapres, Caleg, serta calon kepala daerah terkait kasus dugaan korupsi
hingga Pemilu 2024 selesai pelaksanaannya. "Hal itu dilakukan guna
mengantisipasi dipergunakannya proses penegakan hukum sebagai alat politik
praktis oleh pihak-pihak tertentu," ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin
dalam memorandumnya, pada Minggu (20/8/23).
Pasca terbitnya memorandum Jaksa
Agung itu telah membuat para penggiat anti korupsi murka. Sebaliknya, para
koruptor yang sekarang ini mendaftar sebagai peserta pemilu bisa bernafas lega.
Pertanyaannya kemudian, jika para koruptor tersebut terpilih sebagai
Presiden/ Wakil Presiden atau anggota DPR, apakah Kejaksaan Agung masih berani
mengusutnya ?!
Memorandum Jaksa Agung
tersebut sebenarnya bertentangan dengan dasar hukum pemberantasan korupsi yang
mengacu pada Undang-Undang (UU) 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor). Dalam Pasal 25 UU Tipikor itu, tegas disebutkan penanganan
kasus tindak pidana korupsi mengharuskan percepatan proses untuk mendapatkan
kepastian hukumnya. Bahkan, disebutkan dalam pasal tersebut, penanganan tindak
pidana korupsi harus lebih didahulukan ketimbang proses hukum yang terkait
dengan tindak pidana lainnya.
Jadi suatu yang sangat keliru kalau
penanganan kasus korupsi yang melibatkan peserta pemilu harus ditunda. Justru
seharusnya dipercepat (penanganan kasusnya) agar dapat mencegah calon presiden
ataupun calon anggota DPR yang bermental korup menang dalam Pemilu
nantinya.
Tetapi dengan kondisi penegakan
hukum kita yang saat ini sarat dengan nuansa tebang pilih, terkesan dipolitisir
dan hanya menguntungkan penguasa saja, apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung
sepertinya cukup masuk akal juga. Tetapi apakah itu menjadi solusinya ? Rasanya
kebijakan itu hanya mengalihkan permasalahan saja tidak menyelesaikan masalah
yang sebenarnya.
Sampai disini, upaya untuk terus
mengusut kasus kasus korupi yang dilakukan oleh calon pejabat negara menjelang
pemilu maupun kebijakan untuk menundanya kedua duanya mengandung potensi
pelemahan penegakan hukum untuk kepentingan pihak pihak tertentu yang
mengendalikannya.
Karena kalau penegakan hukum tetap
dilakukan tetapi sarat kepentingan politis pada akhirnya akan membuat penegakan
hukum menjadi cacat karena tiadanya unsur keadilan didalamnya. Tetapi kalau
dihentikan hanya karena alasan pemilu, berarti menyalahi ketentuan yang ada.
Yang jelas pola pola penegakan
hukum seperti digambarkan diatas akan sangat menguntungkan mereka yang saat ini
menjadi aparat penegak hukum sebagai The structure of the law-nya. Karena
seperti diketahui, aparat pengakan hukum saat ini masih dihuni oleh
pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan
atau praktek hukum yang menyimpang dari rel yang seharusnya.
Apalagi the culture of the lawnya,
budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai
aparatur penegak hukum. Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan
ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law erforcement dan
hambatan-hambatan politis lainnya.
Desakan untuk melakukan
pembersihan secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung,
Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar
prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah
dirintis Abdurahman Wahid, tidak pernah bisa berlanjut sampai pemerintah yang
sekarang berkuasa.
Artinya, dalam kondisi dimana
proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk
mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan lumpuhnya hukum karena akan menguntungkannya.
Semua upaya tersebut dilakukan
tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum supaya hukum tetap bisa
dipermainkan untuk kepentingan pemegang kendali kekuasaan demi menjegal lawan
lawan politiknya.
Dasar dari seluruh permasalahan ini
adalah tidak adanya visi, konsep dan strategi dalam masalah penegakan hukum
yang berkeadilan di Indonesia. Tidak ada pendekatan baru dalam membangun image
hukum kita kecuali sekadar meneruskan apa yang ditinggalkan rezim masa lalu
bahkan cederung untuk terus melestarikannya.
Memandirikan Hukum
Negara Indonesia adalah negara
hukum sehingga sudah seharusnya hukum menjadi panglimanya. Oleh karena itu
salah satu amanah reformasi 1998 adalah menjadikan hukum sebagai panglima dalam
pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan komitmen
para pendiri bangsa dan negara ini (the Founding Fathers) yang meletakkan
fondasi dasar negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat)
semata.
Politik sejatinya adalah sarana
untuk mencapai kekuasaan dan kesejahteraan itu ingin dicapai sesuai dengan
tujuan negara. Problematika sering muncul karena aktor politik adalah juga
aktor pembuat aturan hukum itu sendiri yang tidak pernah sunyi dari kepentingan
politiknya.
Namun beberapa fenomena bernegara
masih saja menampakan fakta yang sebaliknya. Politik masih sangat dominan
sebagai penyetirnya. Benturan politik dan hukum masih saja terjadi karena
adanya kepentingan politik mereka yang tengah berkuasa
Kekuasaan atau politik selalu
mengalami abuse of Power karena yang menjadi orientasinya adalah kepentingan
kelompok sesaat tanpa melihat orientasi penegakan hukum sebagai acuannya.
Degradasi hukum oleh politik atau kekuasaan ini telah menimbulkan gejala-
gejala yang buruk terhadap perkembangan struktur penegakan hukum di Indonesia.
Kekuasaan yang dominan tanpa
pengawasan hukum yang efektif tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter.
Lord Acton menyatakan “ Power tends to corrupt but absolutely power tends to
corrupt absolutely. Pernyataan tersebut mengindikasikan setiap kekuaasaan yang
ada tanpa pengaturan hukum tentu akan mengalami penyimpangan.
Fakta yang terjadi sekarang bahwa
konfigurasi politik atau kekuasaan terhadap perkembangan hukum telah
membelenggu penegakan hukum tersebut. Hukum yang menjadi simbol keadilan
hanyalah tajam ke bawah(red. rakyat) namun tumpul ke atas (red. penguasa).
Kemandekan hukum terhadap para
elite politik dan penguasa ini telah menimbulkan disorientasi hukum sendiri
sedangkan hukum seyogianya dijadikan variable bebas (berpengaruh)terhadap
politik atau hukum semestinya perekayasa politik, namun hal tersebut berbanding
terbalik dalam implementasinya.
Oleh karena itu penegakan hukum
sejatinya harus dilaksanakan objektif, professional, proporsional dengan tetap
mengacu nilai dasar hukum yaitu aitu rasa keadilan, kebenaran, kejujuran,
kepastian dan kemanfaatannya.Ia harus pegangan pemerintah dan seluruh aparatur
penegakan hukum yang diberikan mandat untuk menjalankannya.
Bila penegakan hukum komit dan
berpedoman pada nilai dasar maka hukum akan membawa keberkahan dan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat yang dinaunginya. Dan kehidupan berbangsa bernegara aman
tenteram, damai, harmonis, beradab, jauh dari rasa dendam dan perpecahan guna
terwujudnya masyarakat adil makmur sejahtera yang diridhai Allah SWT. Tanpa
mengedepankan nilai-nilai dasar hukum dimaksud, negara hanya “apologis semata”.
Berkaca pada kondisi yang
dikemukakan diatas lalu langkah apa yang dibutuhkan untuk membenahinya ?
Pertama, aktor politik atau pelaku
kekuasaan politik yang diberi kewenangan membentuk Undang-undang seyogyanya
mengabdi pada kepentingan kesejahteraan rakyat sesuai tujuan negara. Bukan lagi berdiri di atas
kepentingan partai politik pengusungnya atau oligarki yang telah
mengongkosinya. Karena ketika kekuasaan diperoleh, aktor politik telah menjadi
alat negara bukan lagi alat kepentingan politik yang telah mengusungnya.
Kedua, wilayah penegakan hukum
harus dibuat terbebas dari kepentingan politik atau intervensi penguasa maupun
pengusaha. Lembaga penegak hukum adalah termasuk dalam sistem hukum yang
berfungsi sebagai institusi penegaknya. Kemandirian atau independensi dari
lembaga penegak hukum tentu akan mengefektifkan fungsi dan tujuan ideal dari
hukum yaitu pemberian keadilan substansial bagi seluruh warga negara.
Dalam hal ini Prof. Sri Soemantri
M, SH Guru Besar Hukum Tata Negara UNPAD menganologikan hukum dan politik
seperti rel dan kereta. Jika rel diibaratkan hukum dan kereta api sebagai
politik, maka kereta api ini kerap kali berjalan diluar relnya. Artinya hukum
tidak ditegakkan sebagaimana mestinya karena intervensi politik pemegang kuasa.
Oleh karena itu kereta harus dijalankan sesuai dengan relnya.Arinya hukum harus
tetap menjadi panglima sesuai amanat konsitusi kita.
Ketiga, Kita tidak hanya
membutuhkan peran politik dan hukum semata. Baik politisi maupun aktor hukum membutuhkan
etika. Not only rule of law, rule of politics, but rule of
ethics. Rekonstruksi, reposisi, restrukturisasi dan Etika moralitas
politik-hukum, niscaya akan mendamaikan politik dan hukum demi kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Ke empat, mendorong supaya hukum
bisa bersifat otonom. Hukum yang otonom adalah hukum yang mampu berdiri sendiri di dalam
nilai dasarnya yaitu keadilan, kepastian dan kemamfaatan. Ketika hukum bersifat
otonom di atas nilai dasarnya maka hukum adalah menjadi variable yang
berpengaruh kepada kekuasaan dan politik. Hukum tentu yang menjadi rambu- rambu
dalam menjalankan kekuasaan dan politik bukan yang lainnya.
Kelima, memurnikan hukum. Kemurnian hukum tentu akan
menjaga eksistensinya sebagai alat perekayasa sosial (tools as engenairing
social). Hukum sebagai peraturan harus mampu merekayasa kehidupan sosial untuk
memberikan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan, sehingga hukum sendiri
terlepas dari pengaruh kekuasaan yang bisa merusak misinya.



0 Komentar