"Every nation gets the government it deserves."
Kalimat tersebut disampaikan oleh Joseph de Maistre, seorang filsuf
anti revolusi Prancis, berabad silam lalu.
Ia memposisikan dirinya kontra terhadap pencerahan, Revolusi Prancis dan teguh berpendirian bahwa pemerintahan berdasar mandat Tuhan adalah bentuk pemerintahan paling stabil.
de Maistre menyebut kekerasan dan ketidakstabilan
adalah faktor inheren dalam demokrasi. Karena itu, de Maistre menyerukan
restorasi Dinasti Bourbon di Prancis. Namun Prancis sudah memilih jalan
pencerahan dan rasionalitas. Kemerdekaan, persaudaraan, dan kesetaraan menjadi
dasar dari revolusi industri yang mengiringinya.
Jika diperkenankan melakukan tafsir ulang dari premis de Maistre,
setiap negara mendapatkan pemerintahan yang layak mereka dapatkan, sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
Apakah Indonesia ingin rezim otoriter, komunis, nasionalis,
sosialis atau demokrasi liberal atau Pancasila, kita sudah pernah memilih
demokrasi dan akan memilih lagi. Pilihannya adalah demokrasi macam apa yang
akan dipilih Indonesia sebagai bangsa.
Idealnya, konstitusi, prosedur demokrasi, pemilihan calon
pemimpin, harus berbasis nilai yang universal seperti kemerdekaan dan
kesetaraan.
Demokrasi seharusnya bukan sekedar suara mayoritas, namun demokrasi sesungguhnya harus mengusung etika, norma, perlindungan minoritas, dan kesetaraan.
Menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024, kita
dihadapkan kembali pada pilihan. Namun, apakah rakyat dapat memilih dengan
kesempatan yang setara, secara prosedural mungkin bisa.
Namun jangan lupa, meminjam istilah hegemoni wacana Antonio
Gramsci, pemilih saat ini berhadapan dengan penguasaan aset informasi dan
struktur kuasa yang dapat menghegemoni wacana, bahkan membungkam narasi kritis.
Hegemoni wacana di era keterbukaan dan masifnya teknologi
informasi ini sayangnya justru tidak dimanfaatkan dengan maksimal untuk
mencerdaskan bangsa dengan narasi yang berkualitas. Namun disalahgunakan
sebagai ajang kontestasi dan dominasi kuasa yang ditujukan untuk membatasi
pilihan rakyat untuk bisa berpikir rasional dan menentukan sikap serta pilihan.
Hegemoni wacana dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari
memanipulasi sumber informasi supaya seolah-olah kredibel, menyerang dan
mendiskreditkan pihak yang kritis dengan cara yang seolah-olah terjadi secara
organik, dan menggunakan suprastruktur untuk mengintimidasi tanpa kekerasan.
Instrumen kuasa semacam ini justru sangat berbahaya, karena media
yang idealnya berfungsi sebagai arena diskursus wacana menuju pencerahan,
justru menjadi instrumen hegemoni wacara untuk melanggengkan struktur kuasa.
Kita bahkan belum menghitung struktur kuasa lain di luar media. Hal ini akan
mendistorsi kemampuan masyarakat untuk berpikir jernih dalam memutuskan.
Untuk itu, sebagai warga negara Indonesia, saya hanya bisa
mengajak para pemilih untuk betul-betul mencerna apa yang disajikan di berbagai
media saat ini. Mari kita kembali menggunakan akal sehat untuk memilah
informasi yang kita cerna. Dengan begitu, harapannya demokrasi yang berasaskan
kesetaraan, persaudaraan dan kebebasan bisa juga menjadi asas bernegara
Indonesia.
Di sinilah premis Joseph de Maistre mendapatkan ruangnya untuk menanyakan pemerintahan seperti apa yang akan kita pilih ?.
Dengan rasionalitas
pilihan yang telah ditimbang, dicerna dan diinternalisasi maka di sanalah
pemerintahan yang selayaknya bakal kita dapatkan.
Pada akhirnya, kita semua harus bersepakat Indonesia ke depan harus maju
dengan memilih calon pemimpin yang bisa berdiri di atas kepentingan kesetaraan,
persaudaraan dan kebebasan yang bertanggungjawab.

0 Komentar