Di tengah kunjungannya ke Amerika Serikat, Jokowi menjamu
Chairman dan CEO Freeport-McMoran Inc., Richard Adkerson, di hotel Waldorf
Astoria, Washington DC. Entah apa yang dibicarakan. Yang pasti, patut diduga
keras, salah satunya terkait perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia
(Freeport), yang masa berlakunya baru akan berakhir pada 30 Desember 2041.
Masih 18 tahun lagi. Masih sangat lama.
Tetapi, Jokowi berniat memperpanjang izin usaha Freeport
tersebut secepatnya, mungkin dipaksakan pada tahun ini juga, untuk 20 tahun ke
depan sampai 2061. Kalau benar terjadi, perpanjangan izin usaha Freeport
tersebut melanggar hukum, dan juga melanggar konstitusi. Alasannya sebagai
berikut.
Pertama, perpanjangan izin usaha (IUPK)
Freeport melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 96 tahun 2021 yang mengatakan,
perpanjangan IUPK hanya bisa dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun atau paling
lambat 1 (satu) tahun sebelum masa berlaku izin usaha berakhir. Sehingga,
memperpanjang masa berlaku izin usaha Freeport, yang baru akan berakhir 18
tahun lagi, 30 Desember 2041, jelas melanggar Pasal 109 ayat (4) PP dimaksud.
Kedua, berdasarkan PP tersebut, izin usaha
Freeport baru bisa diperpanjang paling cepat 30 Desember 2036, oleh Presiden
pada saat itu, yaitu Presiden periode 2034-2039.
Oleh karena itu, apabila Jokowi memperpanjang izin usaha
Freeport yang seharusnya dilakukan oleh Presiden periode 2034-2039, maka Jokowi
melangggar, dan merampas, wewenang Presiden yang akan datang. Artinya, Jokowi
melanggar Pasal 7 UUD yang menyatakan “Presiden memegang jabatan selama lima
tahun”. Dalam hal ini, Jabatan Jokowi hanya sampai 20 Oktober 2024. Karena
itu, tidak boleh merampas wewenang Presiden periode 2034-2039.
Ketiga, perpanjangan izin usaha pertambangan
(IUPK) hanya boleh dilakukan 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Sehingga, memperpanjang IUPK sekaligus 20 (dua puluh) tahun, dari 2041 sampai
2061, jelas melanggar Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021, dan juga Pasal
83 huruf f UU No 3/2020 tentang Minerba.
Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021 menjelaskan
“Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi …. dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan untuk Pertambangan Mineral logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.”
Pasal 83 huruf f UU No 3/2020: Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok Usaha Pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi
“jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Mineral logam … dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun ….
Keempat, izin usaha Freeport sudah dikonversi
dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 17
Februari 2017, yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 (sesuai sisa masa
berlaku KK). Freeport kemudian sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20
tahun, dari 2021 sampai 2041, pada 21 Desember 2018.
Tentu saja, perpanjangan izin usaha Freeport selama 20 tahun
ini juga melanggar peraturan dan undang-undang, karena perpanjangan hanya dapat
diberikan maksimal 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 83
huruf g UU No 23/2009 yang berlaku ketika itu berbunyi, “jangka waktu IUPK
Operasi Produksi mineral logam …. dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Setelah mendapat perpanjangan 2 (dua) kali, atau maksimal 20
tahun, IUPK tidak bisa diperpanjang lagi dan wajib dikembalikan kepada
pemerintah. Pasal 72 ayat (6) PP No 23/2010 berbunyi “Pemegang IUPK Operasi
Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUPK Operasi Produksi sebanyak 2
(dua) kali, wajib mengembalikan WIUPK Operasi Produksi kepada Menteri
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Freeport sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20
tahun, dari 2021 sam pai 2041. Oleh karena itu, izin usaha Freeport tidak bisa
diperpanjang lagi, dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Karena itu,
memperpanjang IUPK Freeport sampai 2061 melanggar UU, dan sekaligus merugikan
keuangan negara.
Jokowi berdalih, perpanjangan IUPK Freeport, dibarter dengan
penambahan kepemilikan saham pemerintah di Freeport sebesar 10 persen, sehingga
total saham pemerintah menjadi 61 persen terhitung 2041, seolah-olah
menguntungkan pihak Indonesia.
Padahal sebaliknya, sangat merugikan. Karena seluruh daerah
pertambangan Freeport pada 2041 seharusnya kembali menjadi milik Indonesia 100
persen. Bukan 61 persen.
Apakah Jokowi tidak mengerti, atau memang berniat berbohong?
Bisa saja, perpanjangan IUPK Freeport ini untuk menutupi potensi kerugian
pengambilalihan saham freeport pada 2018 menjadi 51 persen, dengan nilai
akusisi 3,85 miliar dolar AS.
Selain itu, Jokowi seharusnya juga tidak berwenang
memperpanjang izin usaha Freeport sampai 2041 pada 2018 yang lalu. Karena
menurut peraturan yang berlaku ketika itu, perpanjangan IUPK hanya boleh
dilakukan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum masa berlaku
IUPK berakhir.
Dalam hal ini, perpanjangan izin usaha Freeport paling cepat
dilakukan pada 30 Desembetr 2019. Sedangkan, jabatan Jokowi ketika itu akan
berakhir pada 20 Oktober 2019.
Kalau Jokowi tidak terpilih lagi pada pilpres 2019, maka
wewenang memperpanjang IUPK Freeport yang akan berakhir pada 30 Desember 2021
ada di Presiden berikutnya, periode 2019-2024.
Tetapi, wewenang ini diambil Jokowi dengan menetapkan PP No
1/2017 yang mempercepat perpanjangan IUPK, dari paling cepat 2 tahun dan paling
lambat 6 bulan menjadi paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun, sehingga
memungkinkan Jokowi bisa memperpanjang izin usaha Freeport pada Desember 2018.
Percepatan perpanjangan izin usaha tersebut pada hakekatnya
mengambil wewenang Presiden berikutnya, dan termasuk kebijakan bersifat
koruptif karena menguntungkan pihak Freeport.
Karena itu, DPR wajib menyelidiki apa motif Jokowi yang
sebenarnya terkait penetapan PP No 1/2017, yang pada intinya memaksakan agar
Jokowi dapat memperpanjang izin usaha Freeport, yang sebenarnya bukan
wewenangnya sebagai Presiden periode 2014-2019?
(Tim Liputan News\Editor)


0 Komentar