Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala
daerah di
bawah usia 40 tahun bisa maju dalam kontestasi pemilihan presiden kian
melebarkan jalan dinasti
politik yang diduga tengah dibangun oleh Presiden Joko “Jokowi”
Widodo.
Putusan MK akan membuka jalan bagi putra sulung Jokowi,
Gibran Rakabuming Raka, untuk mengikuti kontestasi pencapresan dalam Pemilihan
Umum (Pemilu) 2024. Saat ini Gibran tengah menjabat Walikota Solo. Sebelumnya,
putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai
Solidaritas Indonesia (PSI), hal yang kemudian turut memantik kontroversi
karena Kaesang hampir nihil pengalaman politik.
Adanya keputusan MK yang
mengizinkan seseorang yang usianya belum mencapai 40 tahun untuk maju dalam
pilpres dengan syarat orang tersebut telah berpengalaman menduduki jabatan
hasil pemilihan langsung, dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada generasi muda.
Menurut MK, sudah semestinya syarat calon pemimpin
tidak hanya secara tunggal tapi juga mengakomodasi syarat lainnya. Yang
terpenting dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk turut
dalam kontestasi sebagai calon pemimpin bangsa.
Analisis
Hukum
Seperti diketahui, dalam hal batasan usia Capres dan
Cawapres ada beberapa permohonan yang diajukan ke MK. Diantaranya
permohonan uji materiil No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI (Partai
Solidaritas Indonesia).
Dalam permohonan ini, para pemohon mendalilkan bahwa
ketentuan Pasal 169 huruf q tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan
bertentangan dengan maksud asli (original intent) pembentukan UUD 1945 dan
Risalah Pembahasan Perubahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa batasan usia
capres dan cawapres adalah 35 tahun, bukan 40 tahun.
Selain PSI, permohonan senada datang dari Partai
Garuda sebagaimana tertuang dalam perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan
alasan yang sama. Dalam permohonan ini, pemohon meminta syarat alternatif
tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat mengimbangi
batas usia minimal 40 tahun.
Namun, semua permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan
dalih bahwa pembatasan usia capres dan cawapres merupakan ranah dari pembentuk
undang-undang (open legal policy) sehingga MK tidak bisa menerimanya.Selain itu
menurut MK apa yang diajukan "memiliki pengalaman sebagai penyelenggara
negara" akan menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi.
Disamping definisi penyelenggara negara sebagaimana diajukan
oleh Pemohon dinilai terlalu luas dan beragam. Sementara pemohon tidak mampu
memberi batasan jabatan yang dipilih dan diangkat. Oleh karena itu, MK tegas
menyatakan jika hal itu tetap merupakan kewenangan pembentuk undang-undang
alias open legal policy.
Namun, hal yang berbeda dan aneh justru terdapat pada
putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama
Almas Tsaqibbiru. Pada intinya, pemohon meminta agar ada syarat alternatif
untuk menjadi capres/cawapres.Syarat alternatif yang dimaksud adalah
berpengalaman sebagai kepala daerah baik itu di tingkat provinsi atau
kabupaten/kota.
Untuk permohonan perkara ini, MK justru mengabulkan
permohonan Almas. Tanpa adanya argumentasi hukum yang jelas, MK justru menerima
sebagian permohonan mengenai batas minimal usia capres dan cawapres dengan
syarat berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum
(elected officials), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), dengan alasan
bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam
Pasal 169 huruf q UU Pemilu kepada MK.
Dengan demikian, meski belum berusia 40 tahun, namun ia
sedang atau pernah menjadi anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dan provinsi,
gubernur, bupati, wali kota bisa menjadi capres atau cawapres.
Dari putusan itu, jelas MK tidak konsisten. Padahal, dalam
dua perkara sebelumnya MK dengan tegas menolak dan tegak lurus jika permohonan
itu merupakan open legal policy. Namun dalam perkara yang diajukan Almas,
permohonan pun tidak jauh berbeda tapi hasilnya tidak sama dengan tiga putusan
di atas. Disini jelas bahwa MK sangat tidak konsisten dengan keputusannya.
Dalam perkara yang diajukan oleh PSI dan partai Garuda, MK
secara tegas menolak dan bersikap bahwa hal itu merupakan kewenangan pembentuk
undang-undang. Tapi, dalam perkara Almas, tidak demikian halnya. MK
justru menerimanya permohonannya kemudian memutuskan untuk menambahkan
suatu norma baru diluar kewenangannya. Karena kewenangan menambah norma baru
ada di DPR dan Pemerintah selaku positive legislator.
Tapi, dalam perkara Almas, MK telah memgambil alih tugas DPR
tersebut.Inilah wujud inkonsistensi yang begitu nyata dipamerkan dalam amar
keputusannya seolah olah tanpa beban dalam waktu yang hanya hitungan jam pula.
Selain bersifat inkonsistensi, keputusan MK terkait dengan
usia capres dan cawapres diwarnai oleh adanya upaya untuk penyelundupan hukum
meskipun caranya begitu halus nyaris tidak terendus oleh para pakar pada
umumnya.
Adanya penyelundupan hukum bisa dilihat pada perkara MK
Nomor 90/PUU-XXI/2023 yaitu berkaitan dengan pendapat hakim MK yang
menyampaikan alasan berbeda atau concurring opinion yang disampaikan oleh Hakim
Konstiusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh.
Jika dicermati pendapat kedua hakim MK tersebut maka
keduanya menginginkan agar syarat capres dan cawapres ialah berusia
minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai gubernur melalui pilkada.
Artinya, mereka menginginkan agar walikota, wakil walikota, bupati, dan wakil
bupati tidak termasuk di dalamnya.
Sebenarnya keinginan Enny dan Daniel yang memberikan alasan
berbeda itu bukan masuk dalam kategori concurring opinion, tetapi dissenting
opinion atau perbedaan pendapat sehingga posisinya seharusya sama dengan
pendapat empat hakim MK lainnya itu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief
Hidayat, dan Suhartoyo.
Jika pendapat dua hakim MK tersebut yaitu Enny dan Daniel
masuk kubu dissenting opinion maka sesungguhnya ada enam hakim yang tidak
setuju dengan putusan itu dan hanya tiga hakim yang setuju sehingga seperti
halnya gugatan yang disampaikan oleh PSI dan partai Garuda terhadap perkara
yang sama, seharusnya gugatan mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru ditolak oleh
MK juga.
Namun dalam petitumnya, nyataya MK tetap menyatakan bahwa
capres dan cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat
sebagai kepala daerah melalui pilkada.Disinilah terjadinya skandal
penyelundupan hukum sehingga formasi keputusan MK hakim
yang memutuskan formasinya menjadi 5:4 atau lima disbanding empat, pada hal
seharusnya 6:3 atau enam dibanding tiga.
Meski sarat dengan inkonsistensi dan penyelundupan hukum ,
namun karena keputusan MK itu bersifat final dan mengikat, bagaimanapun harus
dilaksanakan atau ditindaklanjuti, termasuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain bersifat inkonsisten dan ada nuansa penyelundupan
hukum, keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 juga diwarnai oleh serangkaian
kejanggalan yang membuat orang menjadi bertanya tanya.
Kejanggalan kejanggalan tersebut sebenarnya sudah bisa
dibaca sejak awal pengajuan gugatan sampai proses penyidangannya. Adapun
rangkaian kejanggalan itu diantaranya adalah:
Pertama, Lemahnya status hukum pemohon. Permohonan
uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A, seorang
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, pada 3 Agustus 2023.Pemohon
tidak menjelaskan kerugian konstitusional secara jelas. Pemohon juga bukan
orang yang sudah berusia cukup untuk menjadi calon kepala daerah, juga bukan
seorang kepala daerah, maupun anggota legislatif.
Basis kerugian konstitusionalnya hanya didasarkan pada
pengalaman dan keberhasilan Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo. Dalil
tersebut tentu tidak memiliki hubungan langsung dengan pemohon. Bila permohonan
ini diajukan oleh Gibran, kerugian konstitusionalnya jelas karena dialami
secara langsung sebagai pemohon.
MK biasanya sangat ketat perihal status dan kedudukan hukum
(legal standing) pemohon. Namun dalam putusan ini MK terlihat “sangat ramah”
dan bersedia memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat pemohon. Hal
ini tentu bertentangan dengan syarat legal standing pemohon uji materiil MK
yang menegaskan bahwa kerugian konstitusional harus dialami langsung, spesifik,
dan aktual.
Selain itu, pihak pemohon ternyata pun masih ada
keterlibatan dengan Presiden Jokowi. Almas, pemohon gugatan, merupakan putra
Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).Boyamin
sendiri pernah mengaku kepada media Tempo bahwa ia punya hubungan dan kedekatan
yang panjang dengan Jokowi.
Kedua, Konflik kepentingan yang terlihat jelas. Hakim
Konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Anwar
Usman selaku Ketua MK. Hasilnya, para hakim bersepakat untuk menolak permohonan
ini, dengan dua hakim yang memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Namun, pada permohonan uji materiil No. 90-91/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir
dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan
pemohon.
Apa yang terjadi ini mencerminkan adanya konflik kepentingan
(conflict of interest) dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No.
90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka,
sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap
ketentuan batas usia capres dan cawapres.
Anwar Usman sendiri adalah adik ipar Jokowi, yang artinya ia
adalah paman dari Gibran. Sementara itu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung
atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Artinya, Anwar sebenarnya punya tanggung jawab moral untuk
tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023.
Kenyataannya, ia justru terlibat dalam memutuskan langsung.
Ketiga, MK Terbukti Tunduk pada Keinginan DPR dan
Pemerintah. Dalam kaitan dengan soal usia capres cawapres ini terlihat
sekali MK menuruti keinginan DPR dan Pemerintah untuk memutuskan perkaranya.
Pada hal terkait dengan usia Capres dan Cawapres seyogyanya menjadi ranahnya
DPR dan Pemerintah sebagai pembuat Undang Undang. Tetapi dalam hal ini MK telah
menjalankan fungsi sebagai aktif legislator bukan negative legistor yang
sesungguhnya bukan kewenangannya
Dengan peran yang dimainkannya ini maka MK dalam putusan
Nomor 90/PUU-XXI/2023, telah melepaskan predikat kekuasaan kehakiman yang
menjalankan fungsi checks and balances. Alhasil, MK terkesan menjadi alat
politik DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan UU secara instan dan tidak
melibatkan partisipasi public sebagaiman mestinya
Ke empat, ada anomali dari aspek prosedur pengambilan
keputusan MK. Dimana sejatinya, perkara-perkara No.
29/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor No. 51/PUU-XXI/2023 sudah selesai di Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH) pasca tiga perkara pertama selesai diperiksa.
Namun, MK menunggu dua perkara lainnya masuk yaitu perkara 90/PUU-XXI/2023 dan
91/PUU-XXI/2023 dengan alasan agar diputus berbarengan.
Dalam kaitan tersebut ada upaya untuk memperlambat keadilan,
meskipun tidak ada standarnya. Dalam dissenting opinion Hakim Konstitisi Prof
Arief Hidayat menyebut perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 pernah
dinyatakan dicabut oleh kuasa hukumnya dengan surat bertanggal 26 September
2023 pada Jumat, 29 September 2023. Tetapi pada Sabtu, 30 September 2023 Pukul
20.36 WIB, pemohon membatalkan pencabutan perkara.
Kejanggalan pencabutan perkara ini terdapat perbedaan waktu
penerimaan dan nama petugas penerima surat pembatalan pencabutan perkara antara
keterangan kuasa hukum pada persidangan Senin 3 Oktober 2023 dengan waktu yang
tertera pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS).
Adanya keputusan hakim MK yang inkosisten diwarnai dengan
skandal penyelundupan hukum dan serangkaian kejangggalan kejanggalan lainnya
memunculkan adanya kecurigaan adanya agenda terselubung didalamnya.
Dugaan publik, semua itu dipersiapkan untuk memberikan jalan
bagi pencalonan anak Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai calon
wakil Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya tidak memenuhi syarat karena
kendala umurnya.
Dengan adanya keputusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023,
jelas membuka jalan bagi Gibran untuk menjadi calon orang kedua di
Indonesia, sebagai cawapresnya Prabowo Subianto.Dugaan publik itu ternyata
terbukti adanya dengan telah dipilihnya Gibran sebagai pendamping Prabowo
Subianto.
Dengan adanya drama keputusan MK tentang usia capres
-cawapres ini semakin meneguhkan anggapan publik bahwa hukum memang bisa
direkayasa untuk memenuhi kepentingan politik penguasa. Sehingga memunculkan
ungkapan yang memelesetkan bahwa MK bukan
lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Keluarga.
Sampai disini masihkah ada yang menaruh harapan pada kredibilitas hakim MK ?

0 Komentar