Demokrasi desa menurut Hatta terilhami dari adat
Minangkabau yang karena itu
pada saat ia
menafsikan sila ke-IV
Pancasila yaitu “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan” berarti rakyat
yang mampu memikul
tanggung jawab seharusnya dipimpin oleh kebenaran agama, yang dalam hal
ini direpresentasikan oleh ulama dan cerdik pandai. Selanjutnya, “.... dalam
permusyawaratan atau perwakilan”, hendaknya
ditafsirkan sebagai proses
pengambilan keputusan dari
pemerintah desa, kecamatan,
kabupaten/kota, propinsi hingga pemerintah pusat
-Mochamad Hatta-
Konsep dan semangat Bung Hatta yang merajut semangat
kolektivisme (kebersamaan0 dari Tingkat desa adalah konsep genuine (Asli)
pemikiran para Founding Father
Bangs aini, semangat yang sama
Adalah praktik plebisit juga pernah
dilaksanakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX (Kahin: 2013) untuk memilih
perangkat desa yang melibatkan masyarakat sipil yang berusia di atas 18 tahun.
Perubahan pemilihan pejabat pedesaan ini dinilai paling penting sebab semakin
ditiru dihampir seluruh wilayah jawa dan di tempat lain dengan berbagai variasi
dan adaptasi menyesuaikan dengan keadan setempat.
Selain itu perubahan plebisit ini lebih demokratis
dibandingkan dengan rezim kolonial mengizinkan agar kepala desa dipilih oleh
rakyat; dia kemudian menunjuk pejabat-pejabatnya. Hak suara dibatasi pada
pemilik tanah saja. Dengan sistem Hamengkubuwono IX, majelis desa dipilih oleh
perwakilan kelompok yang masing-masing terdiri atas empat atau lima keluarga.
Majelis desa ini (berjumlah 400 anggota) kemudian
memilih dewan perwakilan
rakyat yang memiliki
30 anggota. Rasionalisasi pemerintahan
secara umum tercapai
dengan penggabungan desa-
desa kecil sehingga terjadi pemusatan sumber daya desa; pendidikan,
irigasi, peminjaman dan koperasi dapat dimanfaatkan lebih efektif, hingga mampu
mensubsidi desa-desa lainnya dengan pengembalian modal untuk memperkuat
industri desa.
![]() |
| Lurah Rawa Badak Selatan Bpk Yuyun Wahyudi dan ketua PPC LMK RBS Bpk.. Anto S menghadiri pemilihan LMK RW 02, Kel Rawa Badak Selatan |
Konsep yang sama di adopsi di jaman sekarang dengan
Pembentukan Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), Lembaga Masyarakat Kota
(LMK) merupakan institusi demokrasi yang dibangun di DKI sebagai wadah tempat
berhimpunnya para tokoh untuk menampung aspirasi masyarakat di tingkat kota
madya dalam upaya mewujudkan jargon pembangunan bahwa “pembangunan
dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.” Ungkapan tersebut, walaupun
tidak sering diucapkan sekarang, namun masih amat relevan karena
sejatinya pembangunan harus dilaksanakan dari bawah, dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pembangunan yang bermula dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, dalam implementasinya masih memerlukan perjuangan yang panjang, karena
pembangunan dari atas dan bersifat “top down,” tidak mudah dihilangkan
karena sudah berakar sejak era Orde Baru, pada hal sudah jelas
mengabaikan hakikat dan tujuan pembangunan.
Sejak era Orde Reformasi (1998-sekarang),
perencanaan pembangunan yang berbasis kepada kebutuhan masyarakat semakin
mendapat tempat. Melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
mulai dari bawah yaitu dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota,
provinsi sampai pusat, dilakukan untuk menyerap aspirasi
masyarakat. Proses perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up), terus
dikembangkan dan dilaksanakan.
Di DKI Jakarta proses
perencanaan dan pembangunan dari bawah semakin diberi ruang yang baik
dengan didirikannya Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) yang semula
dinamakan Dewan Kelurahan (Dekel) pada tingkat kelurahan, kemudian
diperluas pada tingkat kota madya dengan dibentuknya Lembaga Masyarakat
Kota (LMK).
Regulasi tentang Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) adalah
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2010. LMK
merupakan pengganti dari Dewan Kelurahan.
Untuk mewujudkan LMK yang lebih efektif dan efisien, telah
ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2010.
Berdirinya Lembaga ini merupakan bentuk pemberian
legitimasi dari pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah DKI Jakarta bahwa aspirasi masyarakat sangat penting dalam pembangunan,
sehingga perlu diberi wadah. Supaya para tokoh masyarakat yang
dipilih sebagai representasi dari masyarakat, mudah bergerak untuk
menjangkau tiap rumah dalam lingkungan RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan, maka
disediakan anggaran tiap bulan untuk honor atau dana operasional.
Tugas LMK ialah:
1. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat pada
Lurah/Walikota.
2. Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan partisipasi.
3. Menggali potensi untuk menggerakkan dan mendorong peran masyarakat.
4. Ikut serta dalam menyelesaikan masalah kota.
5. Menginformasikan kebijakan Pemda dan
6. Membuat rencana tahunan.
Fungsi LMK ialah:
1. Mendengarkan aspirasi masyarakat.
2. Memformulasikan apa yang didengar menjadi program.
Mendengar aspirasi masyarakat merupakan suatu tugas
mulia. Untuk itu, anggota LMK harus rajin menjemput bola dengan terjun langsung
ke lingkungan masyarakat tempat berdomisili.
Dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, mereka
bisa menjembatani keperluan masyarakat, sehingga menjadi penyambung
lidah masyarakat dengan pemerintah (eksekutif) di tingkat paling bawah dan
kota. Selain itu, anggota LMK harus pula bisa berdialog, memberi
kesadaran dan pencerahan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya.
Tindak lanjut (follow up) dari pendengar, melihat
dan ber-dialog dengan masyarakat, maka para tokoh masyarakat yang menjadi
anggota LMK, harus bisa bersama menformulasikannya menjadi program
dan diperjuangkan perwujudannya. Dengan fungsi seperti itu,
maka LMK tidak bisa diserupakan sebagai parlemen mini yang berfungsi
mengontrol kelurahan atau Walikota. Itu sebabnya namanya disebut
LMK untuk menghilangkan salah persepsi, sehingga tidak berkonotasi sebagai
legislatif di tingkat Kota atau kelurahan.
Sebagai Praktisi hukum, yang
bersentuhan erat dengan perwujudan prinsip-prinsip keadilan dan
penegakan demokrasi saya mendukung penuh konsep Lembaga Musyawarah Kelurahan ini menjadi pilar
Masyarakat untuk mewujudkan demokrasi aspirasi Masyarakat yang berkonsep Bottom-up , aspirasi demokrasi Masyarakat
untuk kemajuan Jakarta, dan jika semangat ini terus di pupuk niscaya akan
demokrasi kolektf dari Masyarakat desa (baca : level RT/RW) menjadi pilar penguat demokrasi nasional.
“Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung
jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati
batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan
sementara waktu oleh diktator.”
― Mohammad Hatta.



0 Komentar