Pemberitaan media pernah di hebohkan oleh kasus yang menimpa Gt Mahmudin Noor?
Dikutip dari laman radarbanjarmasin.com edisi 1 Juni 2022, Gt. Mahmudin Noor,
seorang pria di Kotabaru yang mengaku pengacara namun akhirnya ditangkap
Satreskrim Polres Kotabaru, lantaran diduga terjerat kasus pengacara gadungan.
Ia diduga menipu seorang perempuan muda yang suaminya
tersandung kasus penggelapan dana kebun sawit. Perkara tersebut sekarang sedang
disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru.
Mengapa ada istilah pengacara gadungan?
Terlebih dahulu kita harus memahami apa arti GADUNGAN
, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Istilah gadungan dapat diartikan
sebagai “palsu; bukan yang sebenarnya (tentang orang yang menyamar sebagai
polisi, pemimpin, dsb.). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dimaknai
yang dimaksud pengacara gadungan adalah pengacara palsu atau
pengacara yang menyamar seperti pengacara sesungguhnya.
Tulisan ini tak hendak menyoal substansi perkara yang sedang
bergulir di persidangan tersebut, tetapi mencoba mengupas persoalan “Pengacara
Gadungan” dalam persepktif yang lebih luas, bukan pengacara gadungan yang
disangkakan kepada yang bersangkutan.
Tulisan ini bertujuan bembuka cakrawala berfikir kita
sekaligus menunjukkan apa memaparkan apa konsekuensi hukum yang dapat
diterimanya jika disangka sebagai pengacara gadungan alias pengacara palsu.
Kartu Advokat Palsu
Seseorang yang membuat kartu advokat palsu atau memalsukan
salah satu persyaratan untuk mendapatkan kartu advokat, entah dengan memalsukan
ijazah, entah dengan memalsukan atau memalsukan identitas lainnya yang
dipersyaratkan.
Menurut Pasal 3 (1) Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun
203 dijelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin
menjadi advokat, yaitu:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat
negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana
yang berlatar belakang pendidikan tinggi; hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat
(1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus
pada kantor Advokat;
h. tidak pernah
dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
i. berperilaku baik,
jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Maka merujuk ketentuan Pasal 3 (1) UU Advokat tersebut di
atas, maka setiap orang yang terbukti atau dapat dibuktikan tidak memenuhi
persyaratan sebagai advokat, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai
Advokat atau Pengacara Gadungan.
Memalsukan Kartu Advokat
Seseorang yang membuat kartu advokat palsu memang bisa saja
dipidana berdasarkan Pasal 263 Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) karena telah
melakukan tindak pidana pemalsuan surat, yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
- Diancam
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu
atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Bila merujuk pada pendapat pakar hukum R. Soesilo dalam
bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan
dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis
dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.
Surat yang dipalsukan itu di antaranya harus surat yang dapat menerbitkan suatu
hak.
R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 196) juga menjelaskan
unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat sebagai berikut:
- Pada
waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan (akan
disini memiliki niat yang didorong menjadi sebuah tindakan) menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak
dipalsukan;
- Penggunaannya
itu harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak
perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya
kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan “kerugian”
di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi
juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan, dan
sebagainya.
- Yang
dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat, tetapi
juga “sengaja mempergunakan” surat palsu. “Sengaja” maksudnya,
bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui
benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu.
- Dalam
hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu
bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Menipu Orang dengan Cara Berpura-pura sebagai
Advokat
Orang yang berpura-pura sebagai advokat pun bisa saja
dipidana karena penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP, yang
berbunyi:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
Unsur-unsurnya pun terpenuhi, karena orang tersebut dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, dengan cara
berpura-pura menjadi advokat untuk menggerakan orang lain (kliennya) untuk menyerahkan
uangnya kepada orang yang berpura-pura sebagai advokat tersebut.
Aturan Lebih Khusus yang Digunakan?
Bahwa benar pada dasarnya orang yang berpura-pura sebagai
advokat tersebut memenuhi unsur-unsur pidana yang disebutkan di atas
berdasarkan KUHP.
Perihal sanksi untuk orang yang bertindak seolah-olah
sebagai advokat, tetapi bukan advokat, diatur di Pasal 31 UU
18/2003 sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan
profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 50 juta.
Secara Pengertian kata advokat,
identik dengan keanggotaan seseorang pada suatu Organisasi
Advokat, telah disumpah oleh pengadilan tinggi (SKPT) ataupun Menteri Kehakiman
(SK Menkeh), dan memegang Kartu Tanda Pengenal (Izin Praktek) Advokat.
Dengan demikian apabila orang
yang menyatakan dirinya seorang advokat akan tetapi tidak bisa
membuktikan keanggotaannya pada suatu Organisasi Advokat melalui Kartu Tanda
Pengenal Advokat, tidak terdaftar dalam database keanggotaan organisasi advokat
tersebut, tidak dapat menunjukan SK pengangkatan dari salah satu Organisasi
Advokat, Pengadilan Tinggi atau Kementrian Kehakiman (Sekarang Kementrian Hukum
dan HAM). Maka Unsur memakai Martabat palsu dalam Pasal 378 KUHP
telah terpenuhi.
S.R. Sianturi dalam penjelasannya
terkait Pasal 378 KUHP, dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP
Berikut Uraiannya (hal. 634) menjelaskan bahwa “yang dikatakan memakai
keadaan (martabat) palsu yaitu apabila si petindak itu bersikap seakan-akan
padanya ada suatu kekuasaan, kewenangan, martabat, status, atau jabatan yang
sebenarnya tidak dimilikinya, atau mengenakan pakaian seragam tertentu, tanda
pengenal tertentu yang dengan mengenakan hal itu, orang lain akan mengira bahwa
ia mempunyai suatu kedudukan/pangkat tertentu yang mempunyai suatu kekuasaan
atau kewenangan, dan lain sebagainya.”
Kemudian selain pasal
378 KUHP tentang Penipuan tersebut tidak menutup
kemungkinan seorang advokat gadungan juga dikenakan Pasal 263 KUHP
tentang Surat Palsu apabila ada surat-surat atau dokumen yang
dipalsukan yang digunakan contoh Kartu Advokat Palsu, Serifikat Pendidikan
Advokat Palsu, Ijazah Palsu atau Berita Acara Sumpah Palsu.
Pasal 263 KUHP berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau
memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian
(kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai
keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh
orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak
dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian
dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam
tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang
siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah
sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Jadi terhadap orang yang
mengaku-ngaku advokat padahal bukan itu sangat mungkin dipidana dengan menerapkan pasal
penipuan atau surat palsu sepanjang perbuatannya memenuhi unsur-unsur kedua
pasal dalam KUHP tersebut.
Hal ini pada prinsipnya sama
ketika ada orang yang mengaku-ngaku sebagai Polisi, Dokter atau profesi lainya
padahal bukan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Nara Sumber Tulisan : Arif Rahman Hakim SH. MH , melalui keterangannya kepada Tim Redaksi ARH Media.


0 Komentar