Moral dan etika identik dengan penilaian sikap dan tindak
manusia. Etika masuk kategori teori sedangkan moral bersifat praktik. Makna
atas penyebutan moral dan etika dihadapkan pada integritas karena sikapnya
diukur dari moral dan etika.
Dalam etika menyelidiki memikirkan mempertimbangkan tentang
yang baik dan buruk, sedangkan moral ukuran dari tindakkan manusia dalam
kesatuan sosial tertentu.
Dalam QS Al Baqarah (2):190 “Dan perangilah di jalan
Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Menurut Franz Magnis-Suseno ajaran moral yakni
ajaran-ajaran, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan
ketetapan.
Pengakuan keyakinan tersebut merujuk kepercayaan pada agama
dengan adanya Tuhan yang dipercaya berkuasa atas dirinya dan kehidupannya. Jika
persoalan menyangkut kepentingan pokok hidup manusia yang bersifat spekulatif
persoalan yang dihadapi telah melampaui batas-batas dengan membuat
tekanan-tekanan di luar pengetahuan terutama tentang keadilan, kekuasaan dan
wewenang yang melekat pada diri seseorang.
Dalam kebersamaan kehidupan manusia memerlukan tatanan hukum
untuk mengatur hubungan kebersamaannya, memberikan ruang gerak pada pihak lain
merupakan pengakuan institusional terhadap solidaritas sesama manusia, menurut
fraternite persaudaraan dan keadilan sosial istilah modern dari solidaritas.
Kesamaan semua anggota masyarakat sebagai warga negara tidak
ada satu orangpun dapat memerintah kecuali ia mendapat penugasan atau
persetujuan warga masyarakat itu sendiri dikenal dengan sebutan “Kedaulatan
Rakyat”, persetujuan ini didapat melalui pemilihan umum kewenangan memerintah
telah mendapat legitimasi (keabsahan) secara demokratis, pemerintah tetap di
bawah kontrol rakyat melalui dua cara pertama melalui wakil-wakil rakyat dan
kedua melalui keterbukaan pemerintah (publicity).
Nilai kesamaan dalam etika politik disebut keadilan, pada
Pembukaan UUD 1945 Menjamin dalam mencapai tujuan negara, antara lain
berdasarkan Keadilan Sosial. Pelaksanaannya dari struktur ekonomi, politik,
budaya dan ideologis, struktur ini merupakan struktur kekuasaan segolongan
orang yang tidak memperoleh apa yang jadi haknya mendapatkan bagian yang tidak
wajar dari harta kekayaan dari hasil kerja masyarakat keseluruhan.
Hal ini akan berhadapan dengan pihak-pihak yang berkuasa dan
pihak ini tidak akan tinggal diam untuk mempertahankan status quo, keuntungan
didapat dari struktur yang timpang ini tetap berlangsung, ketimpangan ini
sangat tidak masuk akal mengusahakan keadilan sosial yang datang dari mereka
yang berkuasa.
Tetapi Pancasila memberikan suara kepada jiwa bangsa
Indonesia untuk menghormati harmonis antar pencipta dan ciptaannya, manusia
Indonesia harus tau diri dalam setiap mengambil keputusan, sikap atau tindakan
untuk tidak merusak hukum keharmonisan antara pencipta dan segala ciptaannya,
dalam pembuatan dan penerapan hukum pihak pihak yang terlibat hendaknya
memandang ‘’tempelan’’ yang ada dibenaknya bahwa saya ini bertuhan sehingga
dalam cipta karsa dan rasa tidak melupakan tuhan sehingga dapat menjumpai sinar
keadilan dari hukum.
Penegakan hukum selalu atas nama negara diyakini untuk
menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, jaminan harus ada agar
nilai-nilai dan asas-asas dari penegakan hukum dapat diterapkan fungsinya,
yakni harus ada pengawasan terhadap penegakan hukum kemungkinan menyalahgunakan
kekuasaannya. Selain itu, harus ada jaminan perlindungan agar penegakkan hukum
dapat secara bebas tanpa rasa takut melaksanakan nilai-nilai dan asas-asas
penegakan hukum.
Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, negara hukum dan hukum
adalah satu hal, sedangkan kita menggunakan hukum adalah hal yang lain lagi,
dengan menggunakan sistem hukum modern tidak begitu saja menjamin bahwa
keadilan itu otomatis dapat diberikan. Hal itu masih sangat tergantung
bagaimana para penegak hukum menggunakan, atau tidak menggunakan hukum, disini
faktor manusia menjalani peran yang sangat strategis.
Fenomenologi hukum yang terjadi saat ini dilihat dan
dihayati manusia sebagai satu kejadian yang memiliki esensinya
tersendiri,menurut Edmund Husler melihat fenomena sebagai Lebenswelt, artinya
dunia yang dihayati, diteliti dan keberadaannya sebagai representasi dari
kesadaran manusia (consciousness) saat peristiwa dilakukan di luar kesadaran
tetap menyebutnya kesadaran sebagai unconscious consciousness.
Beranjak dari pemikiran Hussel hukum merupakan dirinya
sendiri, setiap tingkah laku /sikap tindakan manusia sebagai subjek hukum.
Setiap perbuatan manusia terikat oleh hukumnya sendiri dan hukum yang
mengaturnya dari lahir hingga mati, memberikan kewajiban dan hak pada setiap
pribadi, serta konsekuensi dari setiap perbuatannya.
Pertanyaan, kenapa justru pada pengadilan diberikan otoritas
untuk memberikan kata akhir tentang berbagai hal yang menyangkut dengan
konstitusi melalui instrumen hukum yang disebut judicial review karena dianggap
sebagai badan independen sehingga dianggap badan yang paling kurang berbahaya
(the least dangerous branch).
Ada ahli yang tidak setuju diberi kewenangan tersebut kepada
pengadilan, lebih baik dikembalikan pada parlemen atau kepada rakyat itu
sendiri, perlindungan hak-hak fundamental dari rakyat tidak lebih baik
dilakukan oleh badan-badan pengadilan (yang tidak dipilih oleh rakyat) daripada
dilakukan badan legislatif yang demokratis, atau judicial review yang diberikan
badan pengadilan diminimalisir, sehingga muncul teori judicial minimalism.
Berdasarkan teori tersebut, kewenangan pengadilan
diminimalisir kewenangan yang diberikan hanya untuk masalah-masalah yang tidak
mengandung implikasi yang luas pada masyarakat.Teori judicial minimalism ini
mendapat tempat dalam teori ketatanegaraan populis (populis constitutional
law). Menurut ajaran ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan ketatanegaraan
jangan diputuskan oleh badan pengadilan atau oleh badan eksekutif, tetapi harus
diputuskan di jalanan, di kotak suara atau di gedung parlemen.
Memberi kewenangan judicial review memberikan supremasi
kepada pengadilan pada posisi yang sangat tinggi, tidak ada dalam satu negara
yang dapat membatalkan hasil judicial review dari badan pengadilan tersebut,
yang dapat membatalkan badan pengadilan itu sendiri dan amandemen dari
Konstitusi.
Pembahasan
Pasca perubahan ketiga UUD 1945, Kekuasaan Kehakiman
dilaksanakan di dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
memiliki kedudukan yang sejajar.
Kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah
Konstitusi pengujian Undang Undang terhadap UUD 1945 disebut Constitutional
Review. Konsep ini perkembangan modern tentang sistem pemerintahan demokratis
didasarkan ide dari negara hukum (rule of law).
Dalam Constitutional Review ada dua tugas pokok,
yaitu pertama,
menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interplay”
antar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Constitutional
Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyalahgunaan
kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.
Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara
dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak
fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan
salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam setiap
proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari
imparsialitas (ketidakberpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi keadilan.
Prinsip ini merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat
fungsi, dalam hal ini Hakim Konstitusi sebagai pihak yang diharapkan dapat
memberikan pemecahan terhadap perkara konstitusional yang diajukan kepadanya.
Dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan
keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai
solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat
luas pada umumnya.
Imparsialitas hakim harus terlihat pada gagasan bahwa para
hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan,
bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan
pula menjadi pemutus perkaranya Sendiri.
Undang Undang No. 48 Tahun 2009, Undang Undang No. 24 Tahun
2003 dan juga dalam kode etik (sapta Karsa Hutama). Imparsialitas proses
peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan (collegial) dengan
pihak yang berperkara, karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses
persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus
mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan semenda dengan salah satu
pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan, dengan demikian
argumentasi ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex
idoneus in propria causa.
Peristiwa yang terjadi saat ini Mahkamah Konstitusi
mengabulkan gugatan yang diajukan Mahasiswa UNSA Almas Tsaibbirru Re A terkait
syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman
sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten dengan uji materi
terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu batas usia capres-cawapres.
Perkara Almas didaftarkan ke MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023
pada tanggal 3 Agustus 2023 dikabulkan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Oktober
2023 MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan berusia paling
rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum
mengikat.
Sehingga pasal 169 huruf q berbunyi “berusia paling
rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui
pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sebelumnya gugatan
ini dikabulkan Partai Solidaritas Indonesia lebih dulu mengajukan ditolak MK
syarat usia capres-cawapres 35 tahun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Ketua
Umum Partai ini memiliki hubungan keluarga dengan Ketua Hakim Mahkamah
Konstitusi.
Sedangkan Almas adalah hanya seorang mahasiswa yang tidak
memiliki kepentingan dalam pengajuan judicial review Nomor 90, tujuan dari
judicial review jika Pemohon merasa hak dan/kewenangan konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi timbul Frasa persoalan
Konstitusionalitas “Yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan
kepala daerah”, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan pemilihan tingkat
Provinsi, atau kabupaten/kota atau keduanya. Demikian juga dengan pemilu pada
pemilihan DPR saja, atau DPR, DPD atau DPRD, persoalan Konstitusional adalah
pemaknaan yang berbeda-beda.
Pemaknaan yang telah dituangkan pada amar keputusan yang
mengikat menggantikan ketentuan pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum. Dari 9 Hakim Mahkamah Konstitusi 5 setuju dan 4 menolak.
Putusan ini telah membuka peluang setiap warga negara pada usia 21 tahun dapat
mendaftar diri sebagai capres-cawapres, dan faktor usia muda ini mempertaruhkan
keberlangsungan negara Indonesia yang memiliki penduduk 280 juta jiwa, ras,
agama, dan kekayaan alam melimpah, dibutuhkan pemimpin yang berpengalaman dan
dewasa secara mental dan bijaksana dalam memimpin.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak terlepas dari suasana
politis karena saat ini sedang memasuki tahapan pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden, secara jelasnya putusan ini pihak yang akan diuntungkan adalah Gibran
Rakabuming merupakan anak Jokowi sekaligus ponakan dari Ketua Mahkamah
Konstitusi Anwar Usman.
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bisa dilepas dari
konteks politik putusan ini berkaitan dengan batas waktu pendaftaran
capres-cawapres analisisnya sudah bisa diketahui siapa yang diuntungkan dari
putusan ini.
Putusan yang dilakukan Hakim Mahkamah Konstitusi
menyimpulkan adanya pelanggaran kode etik oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam
memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan Mahkamah Konstitusi ini
bersifat final dan mengikat, putusan ini hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Persoalan putusan Mahkamah Konstitusi ini dilaporkan pada
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang
menyimpulkan ada 9 isu yang muncul terkait laporan dugaan pelanggaran batas
usia capres dan cawapres.
Isu Pertama
tidak mengundurkan diri pada putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 meski
memiliki konflik kepentingan karena memiliki hubungan.
Kedua, paling banyak dipersoalkan isu mengenai hakim
membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa.
Ketiga, ada hakim yang menulis dissenting opinion
(perbedaan pendapat dalam putusan) bukan mengenai substansi, dissenting opinion
itu ada perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada
keluh-kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan
keputusan dalam urusan internal.
Keempat, isu mengenai adanya hakim yang berbicara
masalah internal Mahkamah Konstitusi di publik, menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat. Itu termasuk masalah etik menjadi materi yang dilaporkan.
Kelima, isu terkait pelanggaran prosedur, registrasi
dan persidangan yang diduga atas perintah ketua dan hakim. Hakim dan panitera
akan dipanggil sidang MKMK.
Keenam, isu soal pembentukan MKMK yang lambat oleh
MK, meski sudah diperintahkan oleh Undang-undang.
Ketujuh, isu soal manajemen, terutama mekanisme
pengambilan keputusan. Kedelapan, Mahkamah Konstitusi dijadikan alat politik
praktis dan lain-lain. Memberi kesempatan kekuatan dari luar mengintervensi ke
dalam dengan nada kesengajaan.
Kesembilan, isu mengenai adanya pemberitaan di media
yang sangat rinci. Menurutnya, hal ini menjadi masalah internal MK terbuka
keluar. Artinya ada masalah serius di dalam (MK) masalah serius terekspos
keluar, contoh seperti Pak Petrus (salah satu Pelapor) ini punya (bukti
rekaman) CCTV melihat bagaimana berdebatnya hakim.
Berarti ada masalah sumber dari dalam Mahkamah Konstitusi
sendiri. Menurut Denny Indrayana (Kompas.com 31 Oktober 2023) Putusan 90
terindikasi hasil kerja suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir
(planned and organized crime) mega skandal, penyusunan putusan nomor 90 itu
koruptif, kolutif, dan nepotisme.
MKMK segera menerbitkan putusan mengoreksi putusan 90.
Putusan 90 menabrak nalar dan moral konstitusional. Diharapkan MKMK menyatakan
tidak sah putusan 90, atau meninjau ulang putusan 90.
Dalam Konstitusi Indonesia dengan tegas memberikan jaminan
adanya persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law) dijelaskan
dalam pasal 27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

0 Komentar